Ulama Dan Institusi Pendidikan Islam (Knowledge And Power)

on Selasa, 02 Agustus 2011
Bab. I. Pendahuluan

Ulama menduduki tempat yang sangat penting dalam Islam dan dalam kehidupan kaum Muslimin. Dalam banyak hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad sendiri. Salah satu hadis Nabi yang paling populer menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Al'ulama' waratsah al-anbiya'1 Karenanya mereka sangat dihormati kaum Muslimin lainnya, dan pendapat-pendapat mereka dianggap mengikat dalam berbagai masalah, yang bukan hanya terbatas pada masalah keagamaan saja, melainkan dalam berbagai masalah lainnya.
Pentingnya ulama dalam masyarakat Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir legitimate dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni ai-Qur'an dan Hadis. Dikarenakan pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian akhlak, ulama bergerak pada berbagai lapisan sosial. Mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam masyarakat. Oleh karena itu juga pengetahuan termasuk pengetahuan agama yang dimiliki ulama adalah suatu kekuatan pencipta dan pembentuk; pengetahuan (knowledge) dan kekuatan (power) berkaitan erat sekali, dan konfigurasi keduanya merupakan kekuatan yang tangguh atas masyarakat.
Pernyataan itu terlepas dari apakah ulama menuntut ilmu pengetahuan demi kekuatan yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bidang kehidupan ataupun tidak, konsepsi masyarakat tentang tingginya nilai yang melekat pada pengetahuan agama telah memberikan dasar yang kuat bagi kontinuitas legitimasi kekuatan dan pengaruh moral ulama. Tetapi sejarah Islam memperlihatkan bahwa kebanyakan ulama, karena alasan-alasan doktriner dan teologis, enggan menerjemahkan
kekuasaan mereka secara langsung ke dalam bidang politik. Kekuatan dan pengaruh mereka lazimnya cenderung diekspresikan secara politik dan intelektual dalam bentuk keteguhan dan kewaspadaan untuk melihat bahwa penguasa dan masyarakat bertindak sesuai dengan pemahaman atau interpretasi mereka tentang Islam. Mengingat kekuatan dan pengaruh ulama, tidaklah heran kalau penguasa Muslim dari waktu ke waktu berusaha dengan berbagai cara menjinakkan dan meletakkan merekadi bawah otoritas kekuasaan Politik.
Kompleksitas peran ulama dalam sektor-sektor penting masyarakat Islam dibarengi oleh legitimasi dari dasar agama Islam, maka apresiasi masyarakat dan arti pentingnya dalam masyarakat muslim menjadi sangat tinggi. Apalagi melekatnya term keulamaan pada seseorang, bukan melalui proses panjang dalam masyarakat sendiri, dimana unsur-unsur keulamaan seseorang berupa integritas kualitas keilmuan dan kredibilitas kesalihan moral dan tanggung-jawab sosialnya, dibuktikan. Keulamaan mereka tidak akan termanifestasi secara riil jika tidak dibarengi dengan penampakan sifat-sifat pribadi yang pantas dimiliki.
Proses berperannya ulam dalam masyarakat tersebut, mmbuat ulama memiliki tidak saja keabsahan teologis tetapi juga keabsahan sosial dan keberadaannya yang sangat berakar di masyarakat. Dari sini kemudian dapat dipahami jika ulama tidak sekedar diikuti pendapatnya dalam bidang keagamaan, tetapi bahkan dalam bidang-bidang sosial kemasyarakatan lainnya. Tidak jarang terjalin suatu pola hubungan antara ulama, dan masyarakat dimana ulama berfungsi sebagai penggerak (inspirator, motivator, katalisator dan dinamisator) gerakan-gerakan kemasyarakatan dan dengan demikian memiliki bargaining position yang tinggi bila, dihadapkan dengan kekuasaan.
Makalah ini bermaksud melihat hubungan ulama dan masyarakat Islam, khususnya pada dua lembaga yang sangat erat terkait dengan status dan perannya yaitu lembaga pendidikan dan lembaga kekuasaan. Lembaga pendidikan adalah lembaga kemasyarakatan yang mempunyai hubungan terdekat dengan ulama. Ini erat dengan kapasitas kemampuan yang dimilikinya yang menempatkannya dalam tataran elite dengan fungsi penting sebagai transmitter ilmu keagamaan dan tradisi Islam. Kekuasaan erat kaitannya dengan peran kemasyarakatannya, khususnya bila dikaitkan dengan perannya di masyarakat dan pendidikan yang memiliki potensi politis.


Bab II. Pengertian Ulama dan Karekteristik Ulama

lstilah ulama, bentuk jamak dari kata benda (fail) bahasa Arab 'alim, yang berasal dari kata kerja 'alima yang berarti "mengetahui atau "berpengetahuan tentang. Sedang 'alim adalah seorang yang memiliki atribut "ilm sebagai suatu kekuatan yang berakar kuat dalam ilmu pengetahuan dan literatur. Dalam konteks lndonesia, ulama juga mempunyai sebutan yang berbeda pada setiap daerah seperti; Kyai (Jawa), Ajengan (Sunda), Tengku (Aceh), Syeikh (Sumatera Utara/Tapanuli) dan Tuan Guru (Nusa Tenggara dan Kalimantan).
Ilmu adalah masdar taukid dari kata kerja 'alima yang berarti pengetahuan (knowledge). Ilmu berbeda dengan ma'rifah yang juga berarti "pengetahuan". Di dalam pengertian asli, istilah pertama. mengacu kepada pengetahuan dengan kualitas tertinggi yang kadang-kadang bisa diperoleh hanya secara intuitif, sementara istilah kedua menunjuk kepada pengetahuan secara umum. Dalam pemakaian klasik, ilm tidak mempunyai bentuk jamak sesuai dengan ketunggalan konsep ilm itu sendiri di masa paling awal Islam. Tetapi, dalam bahasa Arab pasca-klasik, bentuk pluralnya diperkenalkan, yakni 'ulum, yang menunjuk kepada berbagai 'ilm dari beberapa jenis
pengetahuan.6 Dalam konteks pengertian yang terakhir inilah maka tidak setiap orang yang memiliki 'ilm dapat disebut ulama; hanya mereka yang pakar dalam ilmu-ilmu agama ('ulum al-diniyah) yang mempunyai hak-hak istitnewa (priveleges) untuk disebut ulama.
Dengan pengertian-pengertian di atas, agaknya tersingkaplah bahwa pertumbuhan ulama yang demikian kompleks sebenarnya mempunyai kaitan erat dengan perkembangan kohsep 'ilm itu sendiri di kalangan kaum Muslimin. Cabang keilmuan yang pertama kali muncul dari 'ulum al-diniyah adalah 'ulum al-hadis yang berkembang sejak abad pertama hijrah. Ini mendorong munculnya orang-orang terpelajar dalam bidang hadis, atau muhadisun. Selanjutnya keasyikan dengan syari'ah memunculkan 'ulum al-fiqh yang mengakibatkan hadirnya fuqaha' (tunggal, faqih), yakni ulama yang pakar dalam segala perincian teori dan praktek fiqih. Kemudian, kemunculan ilmu kalam menghadirkan mutakallimun, yakni ulama yang pakar dalam masalah tauhid, ketuhanan, dan lain-lain secara filosofis dan rasional.
Ulama dalam Ensiklodedi Indonesia yang dikutip oleh Dewan Rahardjo memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Sebagai pengemban tradisi agama
2. Orang yang paham secara hukum Islam
3. Sebagai pelaksana hukum fiqih.8
Dengan demikian melekatnya term keulamaan pada diri seseorang bukan melalui suatu proses formal, tetapi melalui pengakuan setelah melalui proses panjang dalam masyarakat itu sendiri dimana unsur-unsur keulamaan pada seseorang berupa integritas, kualitas keilmuan dan kredibilitas kesalehan moral dan tanggung jawab sosialnya dibuktikan. Keulamaan seseorang tidak akan termanifestasi secara riil jika tidak dibarengi dengan penampakan sifat-sifat pribadi yang pantas mereka miliki.9
Dari prespektif sosiologis semacam ini, ulama sekaligus memandang dirinya seolah-olah sebagai bagian dari perjuangan Islamisasi yang terus berlangsung. Keterlibatan mereka dalam gerakan sosial, politik dan ekonomi seluruhnya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencapai tujuan Islamisasi. Dengan demikian istilah perjuangan merupakan suatu kerangka keseluruhan dari peran ulama, merupakan cita-cita fundamental serta tujuan ulama untuk tetap mempertahankan peran keulamaan mereka dalam masyarakat. Dalam hal ini menurut Hiroko Horikoshi, ulama mempunyai dua peran, yaitu memikirkan nasib rakyatnya, dan sebagai penanggung jawab dalam pengajaran ilmu-ilmu agama dan melestarikan praktek-praktek ortodoksi keagamaan para penganutnya.10
Proliferasi nama atau julukan khas yang menunjukkan keahlian dan fungsi penyandangnya di kalangan ulama, dengan demikian terjadi bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai institusi keagamaan diantara kaum Muslimin.
Demikian di masjid misalnya terdapat ulama yang dengan melihat fungsinya di lembaga ini disebut imam atau khatib. Mereka ini bertanggungjawab melaksanakan kepemimpinan ibadah. Benar bahwa setiap Muslim dapat menjalankan fungsi imam dan khatib, tetapi untuk kesempurnaan dan keteraturan ibadah di masjid, lazimnya masyrakat Muslim atau pemerintah mengangkat imam dan khatib profesional. Tetapi tugas mereka biasanya tidak hanya sampai di situ; pada kenyataan mereka juga memberikan bimbingan kepada masyarakat dalam berbagai hal, apakah bersifatnya murni keagamaan ataupun keduniaan. Dengan pemenuhan semua fungsi ini, jelas bahwa tidak semua imam atau khatib haruslah merupakan ulama dalam pengertian yang sebenarnya. 11
Meskipun terdapat berbagai spesialisasi, julukan-julukan dan macam-macam organisasi hirarkis yang disebutkan tadi, namun pada kenyataannya tidak ada garis-garis pembagian yang tegas di antara ulama secara keseluruhan sebagai suatu kelompok sosial. Julukan-julukan yang berbeda yang mengesankan pembagian di antara mereka lebih bersifat fungsional daripada struktural. Sebab itu, seorang imam, misalnya dapat sekaligus menjadi seorang khatib atau mudaris, seorang qadhi juga memainkan fungsi mudaris, khatib atau imam. Bahkan dalam masa-masa pertengkaran yang sengit di antara ahli-ahli hadis dengan ahli kalam tidak terdapat pembelahan strukturan di Utara mereka sejauh menyangkut kedudukan dan fungsi mereka sebagai ulama. Para mutakallimun misalnya, bukan hanya teolog-teolog tilling, tetapi juga dalam banyak kasus adalah qudhat dan dengan demikian ahli pula dalam ilmu hadis dan fiqh. Perbedaan di antara mereka pada dasarnya lebih terletak pada orientasi pemikiran atau concern-keilmuan belaka.12
Dalam pandangan umum, dan juga dalam banyak kajian ilmiah, pembedaan atau pembagian kedua kelompok ulama ini cenderung dibesar-besarkan dan dipertajam. Kelembagaan ulama dilingkungan Islam, sebenarnya adalah sesuatu hal yang aneh mengingat sebuah hadis nabi tak ada lembaga kependetaan dalam Islam.Sudah tentu lembaga keulamaan berbeda dengan lembaga kependetaan. Secara konsepsional, lembaga kependetaan ini memang tidak ada dalam Islam, karena Islam mengajarkan hubungan langsung setiap orang dengan Tuhan, tanpa perantara. Seorang ulama bukanlah seorang profesional wakil Tuhan, yang diangkat dan digaji karena itu bisa diberhentikan. Itulah kenapa pada zaan lembaga keulamaan belum ada, sekalipun banyak yang diakui masyarakat sebgai ahli agama dan fuqaha (ahli hukum atau hakim). Lembaga keulamaan baru timbul kemudian sebagai hasil proses kemasyarakatan dan mereka dipanggil sebagai ulama tak lain adalah ilmuwan ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli hukum, baik yang menulis buku ataupun mengajar, tetapi yang lebih-lebih meneliti dan mengembangkan ilmu.13
Ketika Nabi masih hidup di tengah-tengah masyarakat di Madinah ada sebagian dari warga masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk memperdalam ilmu-ilnlu agama. Di Madinah, tercatat sekelompok orang yang suka duduk di luar (emperan) masjid Madinah untuk menggali dan mendiskusikan pengetahuan agama yang dikenal sebgai ahl al-Shuffah. Disamping kelompok ini ada pula perseorangn yang meniperdalam spesialisasi tertentu dalam bidang keagamaan dan menjadi cikal bakal lahirnya kelompok ulama di tengah-tengah masyarakat Muslim, yang baru muncul sebagai kelas tersendiri pada abad ke-9.14
Munculnya ulama sebagai kelompok tersendiri berkaitan dengan sekurang kurangnya tiga point pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat Islam. Tiga point perkembangan dimaksud yaitu proses elaborasi dan diferensiasi beragam cabang ilmu pengetahuan agama dalam masyarakat Muslim, perluasaan wilayah Umat Islam yang telah melampaui jazirah Arab, dan arus konversi masyarakat non-Arab ke dalam agama Islam. (terutama orang Persia).
Karena itu, pada dasarnya ulama bukanlah merupakan sebuah profesi. Ulama dalam Islam sebagaimana disebut di atas, adalah suatu term umum bagi suatu fungsi sosio relijius suatu kelompok dalam masyarakat Islam.


Bab III. Sejarah Munculnya Term Ulama dalam Masyarakat Islam

Secara historis sulit untuk melacak kapan term ulama menjadi bagian dalam tradisi Ulnmat Islam. Paling tidak informasi yang paling awal adalah ketika Nabi berada di Madinah, ada sebagian dari warga masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Di Madinah tercatat sekelompok orang yang tinggal di emperan masjid Madinah untuk memperdalam masalah agama. Kemudian kelompok ini dikenal dengan nama Abl al-Suffah. Disamping kelompok ini ada pula perseorangan yang perdalam spesialisasi tertentu dalam bidang keagamaan, seperti Ibn Abbas, yang dikenal sebagai ahli tafsir. Kelompok dan perseorangan ini tampaknya yang kemudian berkembang dan menjadi cikal bakal lahirnya kelompok ulama dalam masyarakat muslim.15
Pada masa Umar Ibn Khattab, telah dijumpai sejumlah tenaga pengajar yang secara resmi diangkat oleh khalifah untuk mengajar di masjid Kuffah, Bashrah dan Damaskus. Pada masa ini pendidikan di masjid terbatas pada AI-Qur'an dan Hadis, namun perkembangan kemudian membuktikan bahwa masjid juga menawarkan bidang kajian yang jauh lebih bervariasi, mencakup; tafsir, fiqh, ilmu kalam, bahasa Arab, Sastra, Astronomi dan Ilmu Kedokteran.16 Dari data historis ini dapat diketahui bahwa pada masa awal Islam sudah ada perseorangan ataupun kelompok yang mempunyai otoritas dalam ilm agama, mereka ini berasal dari masjid-masjid. Bahkan kemudian tidak jarang masjid dibangun dengan niat awal sebagai lembaga pendidik tentu saja tanpa mengabaikan fungsinya sebagai tempat ibadah. Sejumlah masjid bahkan diberi nama sesuai dengan nama syaikh yang mengajar di dalamnya, beberapa bahkan secara khusus dibangun untuk seorang sarjana yang nantinya akan mengelola kegiatan perididikan di masjid tersebut ; Sebagai contoh masjid Al-Syafi’I, masjid Al-Samarqani, dan masjid AbuBakar Al-samy, masing-masing merujuk kepada nama yang mengajar didalamnya.17 Dari nama-nama yang muncul dapat diambil satu garisan pelembagaan term keulamaan sudah mulai muncul sejak awal sejarah Islam.
Munculnya lembaga keulamaan sebagai hasil proses kemasyarakatan dan mereka yang dipanggil sebagai ulama adalah ilmuan ahli tafsir, ahli hadis dan ahli fiqh, baik yang menulis buku ataupun yang mengajar. Terlebih lagi bagi mereka yang melakukan penelitian dan pengembangan ilmunya.18Dengan bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam, sering dengan semakin banyaknya pemeluk agama Islam, semakin membutuhkan orang yang memahami dengan benar ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. Disinilah kemudian Persebaran para pengajar yang secara resmi diangkat oleh khalifah untuk mengajar masjid-masjid.19

Bab IV. Hubungan Ulama dan Institusi Pendidikan Islam dengan Kekuasaan.

Ulama sebagai tokoh terpelajar Muslim, hingga saat ini telah mempertahankan status mereka sebagai pewaris simbol-simbol Islam. Orang tidak akan dapat menyebut suatu lembaga dengan mengabaikan bentuk lembaga ulama, dalam arti kepentingan ulama pasti terkait dengan masa depan Islam. Karena itu jelas pula bahwa tidak ada satupun kelompok yang dapat disamakan dengan tradisi Islam seperti yang telah diperankan oleh ulama.
Institusi sosial yang paling dekat hubungannya dengan ulama adalah institusi pendidikan yang berhubungan dengan statusnya sebagai elite intelektual. Hubungan ulama dan institusi pendidikan hadir dalam bentuk suatu hubungan yang mutual saling terkait dan saling membutuhkan. Ada dua pola hubungan ulama dan institusi pendidikan Islam. Di satu sisi lembaga pendidikan Islam adalah merupakan sarana transmisi keilmuan bagi ilmu yang dimiliki oleh ulama, sementara di sisi lain, institusi-institusi formal atau tidak formal dari pendidikan, adalah sarana pembentukan dan pengkaderan ulama.
Dalam hubungannya dengan institusi pendidikan, ulama terlibat sebagai fungsionaris yang mempunyai peran sentral. Peranan tersebut terlihat dalam setiap tahap perkembangan institusi pendidikan Islam dalam berbagai bentuknya seperti majlis, halaqah, maktab, kuttab, jami', madrasah, zatuiyyah dan ribat
lstilah umum bagi ulama yang ditemukan dalam berbagai institusi ini adalah mudarris atau mu'allim. Ketika lembaga pendidikan Islam semakin berkembang yaitu pada abad ke-10 dan ke 11, maka hirarkinya pun semakin kompleks. Herarki itu, selain didasarkan pada ikatan historis dengan lembaga yang ada, juga tentu pada keahlian masing-masing yaitu disebut dengan syeikh. Di bawahnya adalah Naif, Muid dan Mufid, yang tidak pula harus merupakan ulama dalam pengertian yang sesungguhnya.21
Suatu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pada abad pertengahan belum ada pernyataan yang nyata antara para ulama yang bekerja sebagai guru dan para ulama yang tidak bekerja sebagai guru, karena semua orang terpelajar itu baik yang menerima gaji atau pun tidak sama-sama berusaha untuk memberikan pelajaran pada masyarakat.22
Menurut Maqdisi dan Pedersen madrasah sebagai institusi pendidikan merupakan satu bentuk tahap perkembangan institusi Islam, ia merupakan satu bentuk tahap perkembangan sebelumnya, yaitu masjid-khan kompleks dan baru kemudian madrasah.23
Masjid adalah lembaga pendidikan sebagai lembaga yang pertama kali muncul adalah tidak formal dan idependen. Fungsi masjid sebagai sarana pengajaran telah dikenal sejak zaman Nabi. Sebagai pemegang otoritas penafsir ayat Al-Qur'an seringkali di dalam masjid bahkan ke luar masjid, nabi ditanya tentang berbagai persoalan menyangkut aqidah dan akhlak. Nabi kemudian memberi penjelasan dihadapan para pendengar yang membentuk lingkaran di hadapannya (halaqah). Tradisi ini kemudian dilanjutkan pada masa sahabat dengan tambahan hadis sebgai materi, dimana kemudian pada masa ini sebutan ahl 'ilmi banyak dikaitkan dengan orang yang hapal banyak hadis.
Pada masa selanjutnya, materi-materi pengajaran telah mulai bervariasi, mulai dari fiqh, bahasa sampai syair-syair Arab.24Masjid dalam peranannya sebagai pusat pengajaran dan pendidikan senantiasa terbuka lebar dan didatangi aleh orang-orang yang merasa dirinya mampu untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat. Ulama datang ke masjid dengan inisiatif sendiri untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat yang berminat mengambil tempat untuk duduk melingkar sebagaimana telah dipraktekan pada masa nabi.25 Di masjid Ulama memainkan peranan tidak formal dalam memberikan pengajaran dan pendidikan pada masyarakat. Ikatan yang terjalin antar ulama sebagai pengajar dan muridnya lebih didasarkan keterikatan moral
dalam hubungan yang sakral. Umat islam mengambil ilmu dari guru-guru tersebut berdasarkan kesadaran.
Hal ini berbeda dengan madrasah. Berdirinya madrasah biasanya dikaitkan dengan figur seorang ulama. Madrasah biasanya didirikan dan diwaqatkan oleh penyandang dana dengan suatu maksud tertentu misalnya untuk kepentingan mazhab dan pelaksanaan operasionalnya diserahkan kepada seorang ulama yang dipercaya dapat mengembangkan realisasi tujuan tersebut. Walaupun awal mula pendidikap Islam, yang berarti mempelajari Al-Qur'an dan mengembangkan sebuah sistem kesalehan yang mengitarinya, kegiatan awalnya sudah di mulai sejak masa Nabi. Namun baru pada abad pertama dan kedua hijriyah pusat-pusat pengkajian ilmu tumbuh dengan berpusat pada pribadi-pribadi yang menonjol. Ulama-ulalna biasanya memberikan ijazah kepada seorang murid untuk mengajarkan apa yang dipelajari, yang pada umumnya secara eksklusif berupa menghapal Al-Qur'an, menyalin tradisi-tradisi Nabi dan para sahabatnya dan menyimpulkan pokok-pokok hukum yang berkembang. Sekolah ataupun madrasah yang terorganisir dengan kurikulum yang mapan mungkin sekali untuk pertama kalinya didirikan oleh kaum Syi'ah untuk mengajarkan pengetahuan dan mendoktrin murid-murid. Kemudian dinasti Saljuk dan Ayyubi menggantikan Syi'ah di Iran dan Mesir, madrasah-rnadrasah yang besar diorganisasikan menurut garisan sunni.
Dari uraian di atas kita dapatkan ada dua pola hubungan antara ulama dan institusi pendidikan. Pada masjid dan lembaga lainnya sebelum madrasah, hubungan antara ulama dengan isntitusi pendidikan berada dalam satu hubungan yang berbeda dengan pola hubungan yang terjadi. setelah adanya madrasah. Pada madrasah hubungan antara ulama dan murid lebih terkendali dalam pengertian sudah ada pemilahan-pemilahan pengajaran ataupun tingkatan pengajaran, ataupun keterlibatan penguasa dan pemberi waqaf. Pacta awal sejarahnya masyarakat Islam tidak mengenal pemisahan kewajiban keagamaan dan kewajiban kenegaraan. Pada masa Nabi maupun pada masa Khulafa Rasyidin kewenangan agama dan kewenangan negara masih dipegang oleh satu orang khalifah. Baru kemudian pada perkembangannya, ketika wilayah kekuasaan Islam telah berkembang semakin meluas, maka mulai terjadi diferensiasi memegang kedua otoritas tersebut. Ulama kemudian bukan saja terpisah dari khalifah, tetapi juga kadang tampil sebagai sosok pengontrol kekuasaan dan penjaga hati nurani umat, dan tidak jarang pula, pada kasus-kasus paling ekstrim, membuat hadirnya suatu kelompok oposisi, bila melihat praktik-praktik khalifah yang dipandang menyimpang. lni bersamaan dengan kemerosotan kekuasaan yang bersumbu pada ikatan keagalnaan menjadi ikatan kesukuan.26
Dalam kasus yang lebih awal dapat kita tunjukkan satu kasus yang cukup berpengaruh pada masa Abbasiyah, pada masa Al-Ma'mun memberlakukan kebijakan mihnah terhadap ulama yang tidak sehaluan dengan faham kemakhlukan Al-Qur'an yang dipegangi doktrin Mu'tazilah. Sebagaimana diketahui, disamping khalifah sendiri menganut faham Mu'tazilah, teologi ini pun dijadikan sebagai ideologi atau mazhab resmi kekhalifahan. Sehingga penyebarluasan faham Mu'tazilah pada masyarakat luas mempergunakan legitimasi kekuasaan. Karenanya tidak jarang dalam mensosialisasikan doktrin tersebut digunakan cara-cara kekerasan, bahkan pemaksaan. Ibn Hanbal misalnya, seorang ulama ortodok yang berpegang teguh kepada artiliteral ayat dan hadis terkena kebijakan mihnah ini, ia diadili dan dipaksa untuk meyakini bahwa Al-Qur'an itu makhluk, akan tetapi ia tetap berpegang teguh pada aqidahnya yang berkeyakinan bahwa Al-Qur'an itu kalam Allah dan Qadim.
Akibatnya bisa di duga Ibn Hanbal disiksa dengan di cambuk dan dipenjarakan hingga penguasa berikutnya, mengganti Al-Ma'mun.27Dalam kasus ini kita dapat melihat dua posisi ulama yang berada dalam dua kutub yang berbeda. Pada satu sisi ulama merupakan alat legitimasi kekuasaan, tercermin dari sikap ulama yang memihak pada penguasa dan pihak lain ulama yang tidak sependapat dengan kekuasaan, cenderung mengambil jarak ataupun memberontak terhadap penguasa.
Pemisahan antara otoritas keagamaan dan politik mulai mulai mengambil presedennya sejak masa Dinasti Umayyah (611-750), terutama ketika para khalifah mulai mengangkat para qadhi dan fungsionaris-fungsionaris keagamaan lainnya untuk mengadmistrasi syari'ah atas nama negara.28
Dalam masa Dinasti Abbasiyah (750-1055), seluruh ulama yang diangkat pemerintah untuk memegang posisi-posisi keagamaan tersebut mulai menerima imbalan material, yang dalam hanyak hal membuat mereka rentan terhadap tekanan penguasa. Lebih jauh lagi, perkembangan ini juga berarti merosotnya dependensi ulama yang terlibat, dan sebagai konsekuensinya, mengakibatkan terjadinya erosi respektabilitas, integritas, kewibawaan dan otoritas mereka di mata Muslimin. Keterlibatan langsung ulama dalam birokrasi pemerintahan mendorong munculnya dua macam ulama: ulama pejabat dan ulama independen. Di masa Dinasti Usmani kedua kelompok ini masing-masing disebut ‘ulemayi resmiye (ulama resmi, pejabat) dan 'ulemayi tariq (ulama yang sebenarnya). Kedua kelompok ini sering mempunyai pandangan dan sikap yang berbeda jika tidak bertolak belakang-khususnya dalam meresponi masalah pemerintah.29Tapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah dalam perkembangan institusi pendidikan Islam, tidak bisa dilepaskan dengan dukungan kekuasaan. Karena berdirinya sebuah institusi pendidikan Islam tidak terlepas dari peranan penguasa, dan tidak jarang pula penguasa juga mengakibatkan ditutupnya institusi pendidikan Islam.30
Ulama yang bekerjasama dengan penguasa, dapat kita lihat pada kasus pendirian lembaga pendidikan madrasah yang didirikan oleh penguasa semacam madrasah yang didirikan oleh Bani Fatimiah di Kairo.31Telah menjadi kecendrungan umum, bahwa kebangkitan kemerosotan kekuatan dan pengaruh politik ulama banyak dan tergantung pada kekuatan atau keletuahan pemerintah. Pada umumnya, ulama mempunyai kekuatan dan pengaruh lebih besar manakala pemerintah lemah. Dalam konteks ini misalnya dilaporkan bahwa kejayaan ulama Mesir terjadi selama periode 1778-1809 suatu periode kekacauan dalam struktur kekuasaan politik dan sosial Mesir. Dalam masa ini yang ditandai oleh kelemahan pemerintah, kekacauan umum dan invansi Prancis struktur-struktur non-pemerintah, khususnya ulama, tampil mengisi kevakuman dalam kepemimpinan politik. Tetapi, dalam abad ke-19, dengan munculnya bentuk-bentuk baru kekuasaan pemerintah, maka kekuatan dan pengaruh politik ulama merosot hebat.32

Bab V. Penutup

Kebergandaan (multiplicity) fungsi ulama banyak dimungkinkan oleh sifat pendidikan dan pengalaman yang mereka peroleh. Otoritas Ulama yang bersumber dari syari'ah atas dasar fungsi teologi dan sosiologis mereka sebagai penjaga dan penafsir hukum Tuhan. Tetapi otoritas ini tidak akan termanifestasikan secara riil di dalam masyarakat pada umumnya jika tidak dibarengi oleh penampakan sifat-sifat pribadi yang pantas mereka miliki.
Dengan demikian jelas bahwa otoritas mereka bukan berasal dari pentasbihan oleh lembaga eklesiastik tertentu karena memang Islam tidak mengenal lembaga semacam itu dan juga bukan berasal dari pengangkatan pemerintah.

0 komentar: