Belajar Hukum

on Selasa, 02 Agustus 2011
Sejarah hokum

Timbul akibat adanya:
a.Adanya rasionalisme abad 18, yg didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip2 yg semuanya berperan pd filsafat hkm, krn mengandalkan jalan pikiran deduktif tnpa mempehatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional
b.Semangat Revolusi Perancis yg menentang wewenang tradisi dgn misi kosmopolitan (kepercayaan kpd rasio dan kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungan-nya)
c. Adanya pendapat yg melarang hakim menafsirkan hukum karena uu dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum.
d. Kodifikasi hukum di Jerman yg diusulkan Thibaut (guru besar Heidelberg) : hukum tidak tumbuh dari sejarah.

- Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)
Analogi : timbulnya hukum seperti timbulnya bahasa, tidak ada yg universal;
Hukum bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan tetapi karena perasaan keadilan yang terletak dalam jiwa bangsa itu (instinktif); jiwa bangsa (volksgeist) adalah sumber hukum (law is an expression of the common consiuness or spiit of people);
- Puchta (1798-1866)
Merupakan murid von Savigny hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa (volksgeist) yg bersangkutan.
Bentuk hukum
(1) langsung berupa hkm.adat,
(2) melalui uu,
(3)ilmu hukum dlm karya ilmiah para ahli hukum.

Tujuan Sejarah Hukum
Untuk mengetahui bagaimana proses dari terbentuknya hukum yang sekarang ini berlaku berlaku di suatu masyarakat, sehingga dapat mengetahui arah dan tujuan mengapa hukum itu dibuat.

Sistem Hukum (1)
Mariam Darus B : sistem sbg suatu kumpulan asas2 yg terpadu,yg merupakan landasan yg diatasnya dibangun tertib hukum. Asas2 diperoleh melalui konstruksi yuridis (konkrit) yaitu dgn menganalisis (mengolah) data2 yg sifatnya nyata utk kemudian mengambil sifat-sifatnya yang sama atau umum maupun abstrak.
Sistem Hukum(2)
The Principle of Legality (Fuler:1971), maka syarat menjadi sistem hukum, antara lain”:
• Tidak boleh mengandung keputusan yang sifatnya ad hoc;
• Peraturan2 yg dibuat harus diumumkan;
• Tidak boleh berlaku surut;
• Disusun dalam rumusan yg mudah dimengerti;
• Tidak boleh bertentangan satu sama lain;
• Tidak melebihi kewenangan yang diaturnya;
• Tidak boleh ada kebiasaan sering mengubah2 sehingga orang2 kehilangan orientasi;
• Harus ada kecocokan antara peraturan yg diundangakan se-hari2 dgn pelaksanaan se-hari2.

Sistem Hukum (di dunia):
Civil Law : codified law, abstract law, predictability
Common law : Case analyis, phrocedural emphasis, flexilibility
Islamic Law : religious based, law is static, affects day to day life.
Socialist Law : Furthers communist ideology, bureaucratized, minimizes private rights;
Sub Saharan Africa Law : community oriented, customary rules, minimizes individuality.
Far East Law : Stresses harmony and social order, shuns legal process, bureaucratized.

Sistem Hukum Nasional
Sistem Hukum Barat:
berlakunya BW 131 IS, Ketentuan Peralihan UUD 45, PP No.2 tanggal 10 Oktober 1945;
(1) Wetboek van Straftrecht voor Europeanen-stb.1866/55 sejak 1 Jan 1867,
(2) Wetboek van Straftrecht voor Inlander-stb.1872/85 sejak 1 Januari 1873.
Sistem Hukum Adat
Sistem Hukum Islam

Teori2
Eksistensi antara H. Islam dan H. adat memunculkan teori2 yi:
1.Teori Receptio in Complexu yi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing (LWC.van den Berg); ada pengadilan agama (priesterrad) disamping landraad.
2. Teori Receptie (van Vollenhoven dan Snouck Hugronye)yi hukum Islam berlaku bagi bagi orang Islam bila diterima dan telah menjadi hukum adat mereka.
3. Teori Receptie Exit: Jakarta Charter 22 Juni 1945.
4. Teori Receptio A contrario yi hukum adat baru berlaku bila tidak bertentangan dengan hukum Islam




Asas legalitas (nullum delictum nulla poena praevia lege poenali)
“Tiada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya” tercantum dalam Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen (1789). Gagasan itu akhirnya menyebar ke berbagai negara, termasuk Belanda dan akhirnya Indonesia yang mengaturnya dalam Pasal 1 KUHP.
Tujuan yang ingin dicapai asas legalitas adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law (Muladi, 2002).
Kelemahan asas legalitas
asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).

Asas retroaktif (asas berlaku surut)
Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika
(1) menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
(2) menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal HAM). Asas tersebut bisa mengakibatkan seseorang dapat dipidana dengan alasan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang tidak diperhitungkan atau tidak diketahui akan membawanya pada pertanggungjawaban pidana. Pendukung asas ini mendasarkan diri pada asas ignorantia juris neminem excusat (ketidaktahuan hukum tidak membebaskan apa pun).
Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1973) mengatakan, “Kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang tidak diperhitungkan dan tidak diketahui oleh pelakunya akan membawa pada pertanggungjawaban hukum inilah yang menjadi keberatan ahli lain terhadap keberadaan asas retroaktif”.
asas retroaktif dengan segala bentuk dan alasan apa pun tidak dikehendaki karena dianggap dapat menimbulkan suatu bias hukum, mengabaikan kepastian hukum, menimbulkan kesewenang-wenangan, dan akhirnya akan menimbulkan political revenge (balas dendam politik). Inilah yang disebut bahwa asas retroaktif merupakan cerminan lex talionios (balas dendam).



Asas non retroaktif (asas tidak berlaku surut)
Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “ Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”

asas non-retroaktif hanya secara tegas dan diatur dan diberlakukan dalam lingkup hukum pidana materiil bukan dalam lingkup hukum pidana formil (hukum acara pidana) apalagi dalam bidang hukum administrasi yang memang tidak memiliki dasar aturan mengenai hal tersebut baik dalam teori maupun dalam doktrin hukum administrasi.

0 komentar: