Penguasaan Geo-politik & Geo-ekonomi

on Rabu, 20 Juli 2011
Pada abad ke 18 sampai abad ke 19 perang kolonial pertama membelah dunia kepada poros barat dan timur hal ini berimplikasi pada munculnya pemikiran – pemikiran tentang strategi hegemoni State / negara ....................
Beberapa negara seperti Indonesia, malaysia eropa dll bukanlah negara bangsa yang didirikan atas nama kultur tapi lebih bersifat multi state atas nama politik lain halnya dengan kurdi , jepang , korea yang bisa disebut dengan multi state...................
Secara garis geo ekonom afganistan korban dari pertarungan antara cina dan amerika salah satu diantaranya saling melemahkan diantaranya banyaknya gas yang i suplay ke negara cina
Di beberapa negara asia tenggara di antaranya indonesia yag di istilahkan dengan Fragmented Stade yaitu negara yang terpecah pecah sekitar 17 ribu pulau yang menyebar di seluruh nusantara.........afrika selatan disebut perforadt state ........
Swis misalnya yang termasuk kategori Land locked state negara terkunci switzerlan memerangi secara finansial dengan membangun kekeuatan politik melalui perputaran uang dengan tangguh karena secara geografis negara swis tidak mempunyai modal ekonomi ( kekayaan alam yang memadai)............................
Geograic Irregullerities kondisigeografis tidak statis . geopolitik cenderung di respon secara global paradigma baru menempatkan geo politik di respon dengan skala domestik...

......................................................................................................................................................
Geopolitik
Politik perspektif wacana geopolitik di definisikan secara substansi sebagai penguasan sumber daya diantaranya Ekonomi manusia, kekuatan militer dalam sejarah indonesia tercatat suharto yang dominan menerapkan sistem ini , semisal pada saat PKI yang membuat maind sate( image negatif) yang di propagandakan oleh suharto dalam teorinya Gramssce tentang Hegemoni merangkakan antara Manusia, ekonomi, dan militer..........
Nyoto pernah menulis untuk menguasai indonesia kuasai pulau jawa..........ada dua macama sumber daya: pertama sumber daya ekonomi yang di buat manusia Man Made ke dua sumber daya ekonomi yang natural melalui kekayaan alam ..........
Pemetaan geografis untuk menguasai sumber daya dengan langkah 2 sbb: pertama Skala prioritas – dengan memberikan invest melalui isu-isu strategis seperti 1. Energi : minyak, gas, batu bara energi alternaif karena lebih besar kebutuhan energi dari pada orang tua hehe---------2. Mineral: emas, pasirberlian3. Transportasi. Selanjutnya bisa di komparasikan secara geografis daerah mana yang lebh kompeten ? melalui 1. Daftar/ List lokasilokasi strategi


-----------apakah laut hari ininmasih relevan menjadi modal dasar kekuatan ekonomi terutama melihat kemajuan teknolgi dan berbagai perubahan ( Pesawat, internet dll) .........

Analisis Isu & Wacana
Informasi melalui media tidak terlepas dari tendensi hal ini bisa di lacak dari sisi ekonomi dan politik karen kepentingan ekonomi selalu di benturkan pada kepentingan politik.................kebijakan selalu di pengaruhi melalui Input yaitu agenda dan selanjutnya out put menjadi kebijakan......
Menangkap fakta yang sebenarnya ( No Hiperelitas) dengan 1. Analisis Framing2. Conten Analisis berita bisa di analisis dengan melihat contennnya apakah informasi pernyataan/ statmen atau fakta data

MEMBACA SEJARAH PERGERAKAN

Menuntaskan Transformasi Demokratik
Pemuda dan mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di Indonesia sejak jaman penjajahan Kolonial Belanda hingga sekarang. Peran kesejarahan dan keterlibatan yang sangat panjang telah menempatkan sebagai kelompok strategis yang memiliki daya dorong transformasi sosial yang signifikan. Hingga tepatlah kiranya bila mahasiswa dianggap sebagai salah satu ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia.
Membaca Gerakan Mahasiswa (GM) kontemporer karenanya butuh pembacaan historisnya. Yakni pembacaan atas berbagai konteks dan problematika GM Indonesia sedari kelahirannya. Mulai dari perlawanan atas imperialisme sampai pergulingan rezim dispotis, upaya pendekonstruksian formasi sosial masyarakat, keberadaannya sebagai motor penggerak, pengorganisasian, hingga visi strategis GM.
Singkatnya, riset ini difokuskan pada dialektika pergerakam pemuda dan mahasiswa sepanjang sejarah keIndonesiaan, yakni rentang waktu 1900-an hingga 2003 (kekinian). Vareabel penjelasnya ditekankan pada dua wilayah, yakni konteks yang mengerangkai (Global-Nasional-Lokal) dan aktor pergerakan.
Kebangkitan Nasional 1908 menjadi penanda salah satu tonggak sejarah kebangsaan. Namun dia tentunya dilatari setting sosial tertentu. Pelacakannya bisa diruntut pasca pemberlakuan politik etis, walaupun ada beberapa peristiwa penting yang mengintrodusir terjadinya "Ledakan" pergerakan di masa ini. Sebagaimana diketahui, sejak revolusi pengatahuan-teknologi era Renaissance di Barat, memacu perubahan besar pada tatanan Dunia. Persaingan antara Negara bangsa di Eropa melalui pencarian Dunia baru yang di iringi praktek imperialisme. Indonesia tidak luput dari proses ini ketia masuknya bangsa Portugis, Belanda,hingga Jepang.
Belanda masuk sejak Tahun 1596-Cornelis De Houtman di Banten – dan puncaknya pada masa kekuasaan VOC-kongsi dagang pemerintah Belanda-VOC melalui eksploitasinya Tahun 1602 di bawah komando Gubernur Jendral Hindia Belanda, J.P Coen (meminpin 1619-1623 dan 1627-1629). Dari yang tadinya praktek monopoli "alamiah" dalam perdagangan rempah-rempah, hingga penggunaan kekuatan politik, yakni masa culture stelsel (culture sistem,culture sistem, cultivation sistem, tanam paksa) dan seterusnya.
Culture stelsel dilakukan karena pailitnya VOC (31-12-1799). Sebelumnya Hindia Belanda sempat dibawah jajahan Inggris selama lima Tahun (1811-1816) di bawah Sir Thomas Stanford Raffles. Tanam paksa kurang lebih selama 40 Tahun (1830-1870) di bawah gubernur jendral Van Den Bosch.
Cara eksploitasi model Culture Stelsel ini sendri dapat diturunkan dari kebutuhan pemerintah Belanda untuk menutup kas Negara untuk membiayai peperangan yang terjadi di Eropa. Keterlibatan negera secara aktif dalam memobilisasi kekuatan ekonomi di daerah koloni karenanya di butuhkan.
Berikutnya, revolusi Februari 1848 di Perancis mengintrodusir pergeseran gagasan ekonomi-politk di Belanda termasuk Hindia Belanda di dalamnya. Liberalisme ekonomi adalah anak kandeng revolusi ini. Yang melalui desakan dari golongan Liberal (F. Van De Putte, De Waal, Thorbecke, dll) serta golongan humanis melalui E. Douwess Dekker (1812-1979) di Belanda.

Politik Etis
Kemenagan kaum Liberal di Belanda berakibat pada di gantikannya era tanam paksa oleh program politik etis. Pemiskinan di tanah Hindia Belanda dijadikan sebagai basis argumen kaum Liberal untuk menyerang kebijakan ekonomi politik pemerintah Belanda. Van De Venter melaui “Een Eerreschuld” (Debt of Honourl) utang Budi, dalam majalah De Gids 1899, mengkritik kebijakan Kolonial yang tidak memperhatikan kesejahteraan masysarakat pribumi, terutama di akhir abad ke-19 (G. Moedjanto, 1996:21). Kemakmuran Belanda, menurutnya, didapat dari jasa dan kerja orang Hindia Belanda. Ini adalah hutang yang harus di bayar. Pokok pikirannya di tuangkan dalam Trias Politica (Trias Van Devebter) yakni Irigasi, Emigrasi, dan Edukasi oleh pemerintah Belanda di tanah koloni. Inilah program politik dari politik etis yang di canagkan Tahun 1901 oleh ratu Wilhelmina.
Bagi kaum Liberal Belanda, politik etis secara ekonomi politik adalah kewajiban pemerintah Belanda untuk menyiapkan infrastruktur bagi masuknya modal swasta ke negeri jajahan. Swasta menuntut keterlibatan pada pengelolaan ekonomi Negara jajahan, yang pada saat yang bersamaan menuntut minggirnya Negara sebagai aktor utama. Pemiskinan yang melanggar kemanusiaan adalah propagandis bagi kebutuhan tenaga terdidik bagi perkebunan di Jawa dan luar Jawa, termasuk di dalamnya program irigasi dan emigrasi.
Dalam tafsir ini, politik etis adalah kamuflase politik bagi kebutuhan cara baru pengelolaan Negara jajahan dalam kerangka Kolonialistis dan imperialistis. Tesisini dapat di lihat dari sekian reduksi di level praktek. Tiga program ini senyatanya lebih menguntungkan Belanda, dan bukan untuk pribumi, seperti ekonomi (perlindungan dan bantuan bagi masyarakat pribumi), politik (pembebasan mobilitas vertikal pribumi untuk jabatan penting), dan pendidikan (keterbatasan akses, dan mobilitas untuk pos kebutuhan cara politik etis). Kelak, dampak dari transformasi eksploitasi itu melahirkan sekian perlawanan di Sumatra dan Lampung, yang menjadi sasaran trans migrasi.
Namun demikian implementasinya tidaklah tunggal. Di sisi lain, politik etis justru menjadi semacam nemesis (paradoks pendidikan) yang out putnya justru di pakai untuk melawan Belanda. Secara bertahap, kesadaraqn keterjajahan menimbulakan berbagai perlawanan, dari yang tadinya lokal ke Nasional. Ini tidak lepas dari faktor internal dan eksternalnya. Faktor internal tersebut adalah penderitaan penjajahan (rasa senasib seperjuangan); Pax Neerlandica yang telah memberi jalan kesatuan bangsa; komunikasi dan transportasi yang semakin maju; konsolidasi bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahas persatuhan; pergerakan Nasional sebagai reaksi terhadap lahirnya semangat kedaerahan; inspirasi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya dan sebgainya. Sedangkan faktor eksternalnya: kemenagan Jepang atas Rusia; perlawanan rakyat India; revolusi kaum muda Turki 1908 (Musthafa Kemal Fasha); revolusi Tionghoa 1911 (Dr,Sun Yat Sen) dan sebagainya (G. Moedjanto: 26).
Begitu politik etis dilaksanakan, sekolah untuk anak-anak Eropa mulai dibuka untuk anak-anak pribumi oleh Abendanon. Tahun 1902, sekolah juru kesehatan Bumiputera atau Sekolah Dokter Bumi Putera (School Voor Genees Kundigen) ditingkatkan menjadi Sekolah Dokter Bumim Putera (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arts - STOVIA) (Parakitri, 1955:225). Pada Tahun ini pula di mulai program politik etis yang lain, yakni transmigrasi dan irigasi.
Sekolah-sekolah inilah yang kemudian melahirkan lapis-lapis sosial terpelajar dalam masyarakat pribumi. Gerakan di masa awal, mulanya di pelopori oleh seorang ningrat-bukan mahasiswa-Dr. Wahidin Sodirohusodo yang pada Tahun 1901 memimpin majalah “Retnodoemilah” yang di terbitkan di Yogyakarta sejak Tahun 1895 (saat itu di pimpin oleh F.L Winter, seorang ahli bahsa Jawa). Wahidin berasal dari melati, Sleman Yogyakarta (W. 26 mei 1916) di Yogyakarta.
Pada Tahun 1906 ia keliling Jawa untuk merealisasikan keinginannya. Kemajuan menurtnya, akan tercapai dengan ilmu pengatahuan Barat lewat pendidikan dengan tanpa meninggalkan warisan Jawa. Safari ini juga dalam rangka mengumpulkan beasiwa (studiefonds), untuk meningkatkan pendidikan rakyat pribumi. Mamun gagasan Wahidin tidak di sukai oleh kalangan priyayi yang khawatir tersaingi. Tahun1907, di Jakarta dia bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulam pemuda dan mahasiswa, yakni Budi Utomo 20 Mei Tahun 1908. personelnya di ketuai oleh Dr. SUtomo (lahir di desa Ngapeh, Nganjuk, Jatim, 30 Juli 1888), Gunawan Mangun Kusumo (wakil ketua), dan dan Gondo Sowarno (sekretaris).
Pada Tahun 1924 ia juga mendirikan Sutdie Club di Surabaya yang kemudian melebur dalam Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pada 16 Oktober 1930, cara PBI dalam menghadapi penerintahahn Kolonial Belanda memilih jalan Tengah antara jalur kooperatif atau Non Kooperataf. Atas prakarsanya pada Tahun 1935 Budi Utomo dan PBI disatukan dalam wadah Partai Indonesia Raya (PARINDRA). Sotomo juga pernah bekerja sama dengan Ir. Soekarno membentuk badan pederasi bernama PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) pada Tahun 1927. PPPKI juga memiliki kontri busi besar bagi terlaksananya Kongres Indonesia Raya Tahun 1928 dan 1931 di Surabaya dimanan SUtomo menjadi ketuanya.
Pada dasawarsa 1920-an perlawanan di Jawa terbagi menjadi tiga Front, yaitu Front Jakarta yang dipimpin oleh Husni Tamrin, Front Bandung yang dipimpin oleh Sukarno, dan Front Jawa Timur yang di pimpin oleh SUtomo, yang meminpin dan banyak sekali menerbitkan surat kabar sebagai corong pergerakan seperti “Suara Umum, Tempo, Majalah Bangun, dan sebagainya”.
Masih di Tahun 1908, SUtomo di gantikan Rd. Adiati Tirtokusumo melalui kongres Budi Utomo I (11 Oktober 1909) bila masih terus di pimpin oleh para mahsiswa maka Budi Utomo akan kesulitan dalam hal finansial. Oleh karena itu disepakati untuk di serahkan pada kalangan para priyayi. Tirto Kusumo meminpin Budi Utomo mulai Tahun 1908-1914 (2 Priode), dilanjutkan Rd,Ng. Wediodipuro Tahun 1914-1915, R.M. Ario Suryosaputro Tahun 1915-1916, R.M. Ario Wuryonigrat. Kepemimpinan golongan priyayi membawa Budi Utomo pada karakter perlawanan yang cenderung kooperatif dengan pihak Kolonial.
Sebagai varian gerakan, Budi Utomo membuat “Organ Taktis” yakni Tri Koro Dharmo (berdiri 7 Maret 1915) yang diketuai oleh Sutiman Wryosanjoyo dan beranggotakan Sunardi (Wongso Negoro), SUtomo, Muslich, Musoda, dan Abdul Rahman. Walaupun asasnya bersifat Nasional dalam arti organisasi ini menpunyai kesadaran “Hindia”, namun anggotanya adalah murud-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Trikoro Dharmo dengan demikian masih sangat Jawa sentries.
Namun demikian dari organisasi ini dapat menjadi perkumnpulan pemuda-pemuda dan mahasiswa seluruh “Hindia”. Pada kongresnya di Solo, 12 Juni 1918, Trikoro Dharmo berubah menjadi Jong Java yang corak pergerakan an ruang lingkupnya lebih luas termasuk pemuda dan mahasiswa sunda. Konteks situasi Nasional pada saat itu samangat pergerakan untuk merebut kemerdekaan.
Selama eksis, Jong Java telah mampu menjadi salah satu bagian penting dalam pergerakan Nasional. Trikoro Dharmo secara konsep taktik-setrategik memang masih bersifat kedaerahan (Jawa sentris), walaupun kemudian mengalami perluasan. Namun konteks perlawanan tidaklah berbeda dengan yang terjadi di daerah lain pada saat itu (kurun waktu 1908-1917), yakni upaya keluar dan membeaskan diri dari jarring-jaring Kolonialisme, Kapitalisme dan Feodalisme.
Sebagai elemen pelopor atau perintis Trikoro Dharmo menjadi referensi gerakan di daerah lain. Pergantian nama menjadi Jong Java mengakhiri stigma “Jawa sentris”. Inilah usaha memperluas cakupan dan orientasi pergerakan. Di daerah lain organisasi-organisasi serupa-pun dibentuk, yang juga masih bersifat kedaerahan seperti Jong Sumatranen Bond/JBS (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918-1928), Jong Batak Bond (1925). Yang agak berbeda adalah Jong Islamieten Bond (JIB) Tahun 1925 yang menunjukkan-walaupun masih Partikular- kecendrungan kebutuhan menyatukan organisasi pemuda dan mahasiswa dalam skope yang lebih luas (Nasional), namun juga menandai pengaruh keagamaan yang menjadi daya dorong pergerakan secara formal dikalangan pemuda.
Inilah kecenderungan yang mampu melahirkan Jong Indonesia di Bandung pada Tanggal 27 Februari 1927 (hasi keputusan kongres pemuda I, 30 April 1926), Sumpah Pemuda (SP) sring disebut sebagai generasi penegas atau pendobrak-Tanggal 26-28 Oktober 1928. namun ini tentunya lebih bersifat momentum, karena sebelumnya pun tidak bisa di nafikan arti kegiatan serupa yang juga bersifat Nasional. “manifesto politik” perhimpunan Indonesia sebelumnya (indische vereeniging 1906-1922) yang dimuat Hindia poetra, edisi Maret 1923, telah mengintrodusir gagasan kesatuan, demokrasi, penilakan penjajahan, dan hak menentukan nasib sendiri dalam Indonesia yang merdeka. (1000 Tahun Nusantara, 2000:139-140).

Masa 1928-1939
SP 1928 menjadi referensi orientasi persatuan Nasional bagi pergerakan mahasiswa dan pemuda waktu itu, seperti munculnya Indonesia Muda (IM) Tahun 1930 sebagai hasil peleburan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (JSB, JC, JM, SR, dan yang lainnya). IM dipelopori oleh perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI).
Dalam perjalannya, banyak organ ini tidak terlepas dari intrik dan friksi internal serta intervensi Kolonial melalui tindakannya yang represif. Pada kasus IM, persoalan eksternal dan internal tersebut mampu mendomestifikasikannya hingga gagal memberikan kontribusi signifikan. Realitas ini mendorongan banyaknya anggota IM keluar dan membentuk organ lainnya seperti Soeleh Pemuda Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemuda Revolusioner (PERPIRI), dan di kemudian waktu juga mengalami problem sama. Kevakuman grakan pemuda di tingkat Nasional sudah mulai terlihat.
Vakumnya IM dan organ-organ lainnya telah sedikit melumpuhkan semangat pergerakan Nasional. Kevakuman dan krisis pergerakan yang seharusnya terkait dengan konteks eksternal, seperti malaise ekonomi Dunia Tahun 1929/1930, pembatasan Hak berkumpul dan berserikat (pengawasan Polisi) dalam rapat-rapat Partai, larangan pegawai dalam birokrasi untuk menjadi anggota Partai politk, cap Ilegal bagi organ yang di angggap bertentangan dengan Lae And Order (Koninklijk Besluit, 1 September 1919). Situasi represif inipun banyaknya pergerakan pemuda Nasional yang di asingkan (Sokarno,Hatta Dan Syahrir) setiap organ dituntut memiliki daya tahan jaka ingin bertahan dan di paksa menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah (G. Moedjanto, 1992:57).
Banyak penyiasatan kemudian butuh di lakukan untuk merespon refresif ini. Banyak dari mereka kemudian bertransformasi menjadi Studie Club. Wilayah gerakan sangat Kultural, yakni berupa aksi-aksi penyadaran masyarakat akan arti penting pergerakan, persatuan, pendidikan dan lainnya yang secara Kultural bermanfaat bagi perjuangan merebut kemerdekaan. Menyebarkan wacana melalui surat kabar, atau majalah (seperti Soeleh Rakyat, Soeleh Indonesia) adalah tren baru pergerakan.
Di waktu kemudian Trend Study Club ini menjadi usang dalam konteks sosial politik yang berubah. Embrio revolusioner dalam pergerakan Kultural mulai membutuhkan ruang ruang sosial untuk “uji materielnya.” Banyak kemudian dari mereka menjadi Partai politik seperti Algemeene Studie Club-nya Sukarno berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada Tahun 1927. pergeseran ini kemudian diikuti oleh Partai-Partai baru seperti Partai Indonesia Raya (PARINDRA)-eks Budi Utomo, Gerakan Rakyat Indonesia (GARINDO), dan puncaknya adalah terbentuknya Gabungan politik Indonesia (GAPI) pada Tahun 1939.

Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa Jepang hampir semua gerakan pemuda dan mahasiswa di bubarkan. Mereka kemudian di mobilisasi dalam mewujudkan Program Asia Timur Raya Jepang. Situasi ketidakamanan akan bahaya perang, memaksa Jepang untuk tidak memberikan ruang politik yang luas, bagi kebutuhan pengorganisasian dukungan.
Konsekwensinya, para pemuda di masukkan kedalam barisan-barisan pelopor ketentaraan Jepang, seperti Seinendan, Keibodan, Heiho, dan lainnya. Sebagian lainnya di beri lebel “kebangsaan” seperti Pembela Tanah Air (PETA). Mereka ini, dalam propaganda Jepang, nantinya akan menjadi tulang punggung kemerdekaan. Walaupun sesungguhnya keberadaan mereka tidak lebih sebagai penyiapan bala bantuan Jepang untuk menunjang Meliter Jepang pada perang Pasifik.
Dimulailah era baru pergerakan, yakni era pergertakan bawah tanah. Era ini dikenal sebagai era kejayaan gerakan illegal seperti selebaran, kurpol-kurpol, dan propaganda. Hanya saja seperti nanti dicatat di bawah, gerakan bawah tanah ini di kombinasikan dengan cantik dengan gerakan illegal yang dipimpin Sukarno. Salah satu hasil kalaborasi ini adalah keberahasilan pengorganisasian massa pada demonstrai massa di lapangan Ikada.
Seperti di sebutkan di atas tidak semua gerakan kepemudaan dan mahasiswa tirap. Kekuatan politik yang di mainkan masih di pertahankan, hanya sajaj dicitrakan agak jauh dari oposisi. Cara yang kedua inilah yang di perankan antara lain oleh Sukarno, Hatta, dan lainya. Sementara di kubu yang pertama, nama Tan Malak barangkali yang paling tersohor.
Pergeseran yang cukup berarti, terlihat di masa-masa akhir pendudukan Jepang. Kekalahan tentara Jepang oleh sekutu di beberapa tampat, yang didengar oleh aktivis pergerakan Nasional, dapat menjadi bumeranga bagi cara politik refresif yan g digunakan. Putera yang tadinya hendak digunakan sebagai organ korporatis Jepang, mulai mampu menunjukkan karakter oposisinya. Ini memaksa Jepang untuk lebih akomodatif pada kepentingan politik pergerakan kemerdekaan Nasional. Pembentukan BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI adalah contoh terbaik politik akomodatif Jepang di saat-saat akhir pendudukan.

Pasca Kemerdekaan
Tahun 1955 merupakan Tahun ke-5 Indonesia menganut sistem demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer). Eksprimentasi yang kemudian di anggap gagal, karena tidak adanya pemerintah (Partai/koalisi Partai untuk meraih mayoritas dalam parlemen) yang mampu bertahan lama (rerata kurang dari 5 Tahun, terlamam tidak lebih dari 2 Tahun) . Enpat parai besar pemenag pemilu 1950, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI, tidak ada yanga meraih mayoritas.
Instabilitas politik ini di perparah oleh keterlibatan Meliter dalam panggung politik. Rasionalisasi di tubih Meliter yang tadinya dimaksudkan untuk memprofesionalkan keberadaannya tidak terkomonikasikan dengan baik.
Pasca agresi Meliter Belanda I dan II, rencana “pecah belah” dalam model RIS, yang menandai keinginan Belanda (dan sekutu) untuk berkuasa kembali di Indonesia, memunculakan persepsi di ubuh Meliter akan kewajiban menjaga kesatuan Nasional. Carut-marut tersebut di perparah keterlibatan elit sipil yan gmencampuri internal Meliter.
Singkatnya, dalam perspektif Meliter, Pertama, menolak intervensi sipil dalam urusan internal Meliter (seperti kasus pelantikan bambang otoyo sebagai KSAD), dan kedua, melihat instabiitas politik adalah karakter dasar dari kepemimpinan politik sipil. Walaupun, sesungguhnya yang lebih dominan adalah yang pertama, sedangkan yang kedua akan menjadi bahan yang makin akumolatif di kemudian waktu.
“pembangkangan” awal Meliter teahdap kepemimpinan sipil, didemonstrasikan dalam pagelaran pasukan di depan istana Negara di bawah komando A.H. Nasutin, di Tengah pidato presiden Sukarno pada Tanggal 17 Oktober 1952. inilah awal ketegangan yang akan terus berlanjut hingga di kemudian hari. Kesemuanya berimplikasi pada instabilitas politik yang dalam konteks Negara baru seringkali tidak menguntungkan.
Krisis politik ini di perparahatau di matangkan oleh kerisis ekonomi yang diawali sekitar 1954-1959 (yang akan semakin parah di Tahun-Tahun berikutnya). Tingkat insplasi tinggi-yang merupakan indicator makro stabilitas ekonomi-menurunkan tingkat daya beli yang menurunkan tingkat kesejahteraan. Namun tanpa harus memperdebatkan bagaimana tingkat kesejahtraan di ukur, senyatanya persoalan kemiskinan belum tertanggulangi.
Dalam disertasinya, Hermawan Sulistyo menunjukkan bahwa suplai uang, devisit anggaran, dan biaya hidup meningkat sekitar tiga kali lipat. Uang kartal yang beredar menunjukkan angka yang semakin meninggi (nilainya rendah). Pada saat yang sama lapisan elit tidak menunjukkan sens af cresis yang kuat dengan mempertontonkan kemewahan didepan rakyat melarat.
Ekonomi biaya tinggi (inefisiensi dan korupsi) banyak berperan dalam mundurnya perekonomian. Belumlagi kebijakan impor lebih banyak berorientasi pada barang konsumsi (meningkat tajam dari $ 499 juta pada tahun 1960). Kontradiksi social ini direspon melalui berbagai perlawanan sepeti pemogokan yang dilakukan Serikat Buruh Partai Sosialis Indonesia (PSI) sekitar Mei 1955.
Selain situasi nasional ini, ada konteks global yang memberi corak pada GM Indonesia. Pasca keruntuhan Fasisme, berujung pada pertentangan dua kutub idiologi yang tadinya melakukan “aliansi taktis” melawan fasisme dan kapitalisme-liberalisme. Di tingkat gerakan, masing-masing memiliki watak nasionalis. Pertemuan Internasional Union Student (IUS) yang kongres pertamanya terlaksanan di Praha, Cekoslowakia, Agustus 1946 dipertandingkan dengan International Student Conference (ISC,1950) telah mengakibatkan terpecahnya GM dalam dua kubu idiologi besar dunia. Politik di Indonesia sendiri pada awalnya lebih memilih di tengah. Kesadaran kolektivitasnya dibangun oleh semangat persaudaran atas segenap bentuk penjajahan yang mengenai wilayah Asia dan Afriika. Ini di manifestasikan dalam kongres asia afrika (KAA) di bandung pada April 1955.
Kesemua situasi diatas berpengaruh dalam GM, terutama tarikan masuk dalam politik. Tipologi pelembagaan partisipasi politik sat ini memang melalui saluran partai politik yang kental corak idioiloginya. Hampir kesemua saluran partai politik tersedot di sini. Masing-masing saluran partai politik kemudian hanya tampak sebagai instrumen perpanjangan (Underbouw) partai politik, dari mulai organisasi kemahasiswaan, organisasi petani, buruh, pers, dan sebagainya.
GM pun larut dalam tipologi ini. Aktivits yang sempat melemah (kasuskeluarnya persatuan perhimpunan-perhimpunan mahasiswa Indonesia/PPMI-dari Dri Front pemuda Indonesia/FPI-pada kongres pemuda Indonesia, 8 Juni 1950), kini meningkat derastis dalam frem baru ini.
Pergeseran ini sering kali menyulitkan kebersamaan. Afiliasi organ mahasiswa ke parpol berakibat pada metuncingnya hubungan antar organ. Belum lagi jika ketegangan itu diturunkan dari perbedaan idiologi. Front kiri dan kanan semakin jelas, yang direpresentasikan lewat perpecahan antara CGMI, GMNI, dan GMKI dengan HMI, PMKRI, dan Germasos, PMII sendiri di pimpin germasos.
Organ mahasiswa yang terlibat di PPMI, dan merasa terjebak dengan keanggotaannya di IUS, mencoba keluar dari dominasi ini. Pada tanggal 15 Mei 1956 konfrensi Mahasiswa Antara Indonesia (KMAI) dilangsungkan untuk membahas masalah ini di asrama Daksinapati, UI. Namun, yang terjadi justru forum menjadi arena persaingan memperebutkan legitimasi kepeminpinan politik mahasiswa yang selama ini di pegang PPMI.
KMAI kemudian ikut terlibat dalam gerakan mahasiswa internasional, termasuk mempersiaokan delegasi Indonesia untuk mengikuti Konfrnsi Mahasiswa Asia-Afrika (KMAA). Namun pertentangan idioloogis pulalah yang akhirnya menggagalkan bertemunya gerakan mahasiswa ini karena mereka menganggap KMAA adalah perpanjangan tangan IUS. Negara-negara yang menolak tersebut antara lain: Muangthai, India, dan Birma.
Sementara itu, di tahun 1957 kondisi nasional semakin memberuk. Sejak akhir 1956 aksi protes diberbagai wilayah di Indonesia mulai diwarnai kekerasan bersenjata. Keterlibatan meliter dalam aksi-aksi ini sangat kental.ketegangan dalam internal tubuh meliter, perpecahan karena gesekan idiologis, perlawanan terhadap dominasi pemerintah pusat, dan lainya menjadi pemicu bagi lahirnya perlawanan-perlawanan di daerah. Dewan banteng di Sumatra tengah, dewan gajah di Sumatra utara, dan permesta di sulawsi selatan, adalah buktinya.kekacauan semakin besar, dan kabinet Ali II pun jatuh pada Januari 1957.
Sukarno akhirnya mengambil langkah di berlakukannya darurat perangartinya menarik meliter untuk lebih dalam masuk politik.lebih lanjut sukarno melalui dekrit 5 Juli 1959 membubarkan dewan konstituante dan membentuk Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional.
Pilihan politik ini dalam banyak hal malah menambah ketegangan. Inilah awal dimulainya era Demokrasi terpmpin dimana kepentingan politik Sukarno tampil sentral dalam dalam pengelolaan konflik dalm tiga kekuatan besar yang menjadi kawan koalisinya-yang masing-masing sebenarnya saling berlawanan,-yakni PKI, NU, dan meliter.inilah formasi politik baru yang menyingkirkan faksi-faksi idiologis dalam percaturan politik Indonesia, sepeti kaum sosiali (PSI), Islam Modernis (masyumi), dan murbais (partai murba). Demokrasi terpimpin sesungguhnya secara substansif lebih cenderung otoriter, jika dibandingkan den gan otopiai demikrasi dsebagaiman diajarkan demokrasi liberal. Perlawanan dibernagai daerah adalah implikasi dari situasi ini, yang ditunjukkan oleh keterlibatan tokoh-tokoh di faksi tersingkir ini dalam gerakan “pemberontakan”.
GM pun terseret dalam konflik elit ini (walau juga ada nilai idiologinya). Aktivis mahasiswa yang berbadsis UI Jakarta menggalang senat dari berbagai universitas dan membentuk federasi Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Inilah organ nasional yang sebanding dengan PPMI. Namun karena lahir sebagai reaksi atas konflik elit, MMI gagal melibatkan dirnya dalam perjuangan yang lebih luas, yakni perlawanan terhadap-dalam bahasa demokrasi terpimpin-Neo kolonialisme-imperialisme (neokolim).
Ini dapat terlihat dari ketidak terlibatan mereka dalam kasus pembenasan Irian Barat, sebagai mana yagn dilakukan PPMI, FPI, dan perserikatan pemuda islam seluruh Indonesia (porpisi) pada 24 april tepat pada deklarasi hari Solidaritas Internasional menetang kolonialisme dan imperialisme (kasus irian barat menunjukkan pertarungan Indonesia, belanda, dan amerika untuk memperebutkan minyak dan tambang lain, dismpin kedaulatan politk bagi pemerintahan Indoneasia).
Tahun1957 dan seterusnya hingga masa demokrasi terpimpin adalah tahun suram bagi organisasi mahasiswa maupun masyarakat. Peran politik gagal menyentuh realitas ketidak adilan obyektif dalam masyarakat, seperti persoalan kemiskinan maisalnya. Banyak diantara mereka seperti di samping terjebak pada konflik elit. Juga tebelah dalam fragmentasi idiologos yang berlart-larut tanpa pemenang. Belum lagi munculnya politik baru yang di mainkan tentara (AD).
Keterlibatan tentera dalam mempengaruhi pergerakan mahasiswa secara langsung di andai dengan pembentukan BKS-PM (badan kerjasamam pemuda-meliter) tanggal 17tanggal 17 Jini 1957. Bagi meliter, ini ditunjukkan untuk mengimbangi politik pengorganisasian masa oleh PKI, sekaligus kontrol politik atas kekuatan mahasiswa. Mereka yang mengikuti kesepakatan seperti Suktno (Pemuda Rakyat), S.M. Thaher (Pemuda Demokrat), A. Bochori (GPII), Wajhib Wahab (ansor) dari pihak pemuda, dan letkol Pamuraharjo dari pihak meliter. BKS-PM diresmikan 26 Jili 1957 terdiri dar 125 organisasi pemuda dari 6 federasi yang memiliki perwakilan di dewan penasehat BKS-PM.
Upaya mengahiri kerisis politik melalui demokrasi terpimpin ditenggarai “kerinduan” akan cita bersama yang terkandung dalam UUD 1945. dekrit Sukarno 5 Juli 1959, di dukung juga oleh banyak kalangan, dari mulai partai politik yang kemudian berkawan dwngannya, Meliter dan juga GM (melalui PPMI, yang menekan sidang konstituamte pada tanggal 11 Juli 1959 di Bandung). Jika persoalan di masa mendatang justru lahir dari kegagalan UUD 1945 merespon perubahan situasi, maka kiranya lebih tepat niatan kembali ini semata sebagagi semangat kembali pada cita persatuan.
Namun, dengan kembali pada UUD ’45, masih memerlukan tafsir baru yang pas dengan kebutuhan situasi yang terpimpin. Inilah yan gmelahirkan manifesto politik USDEK (UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokratis terpimpin, ekonomi terpimpin dan keoribadian Indonesia). Singkatnya, persialan tafsir ini juga akan kembali mengemuka pada masa kedepan terutama pada saat konsolidasi rezim Orba yang memonnnopoli penafsiran UUD 1945.
Parpol/Ormas dipaksa ntuk menyesuaikan diri cengan situasi. Anggaran dasar setiap organisasi harus mencantumkan Manipol USDEK, dan yang tidak dianggap kontra revolusioner (kontrev) dan di bubarkan. Masyunmi, PSI, Murba, menjadi korban eksklusi politik ini, anak kandung organisasinya Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Gerakan Pemuda sosialis (GSP) dan GM sosialis di isolasikan.
Semrntara itu, perekonomian semakin memburuk. Sanering terhadap rupiah, diumumkan oleh pemerintah pada tanggal 25 Agustus 1959, menjadikan nilainya tinggi 10 % saja dari nilai nominal. Perkiraan bahwa nilai uang akan kembali normal ternyata meleset. Jumlah uang yang beredar semakin banyak sehingga harga barang makin membumbung.
Ada beberapa hal menurut Modjianto yang menyebabkan terjadinya situasi ini, yakni Pertama, penghasilan negara berkurang akibat turunnya ekspor karena pergolakan di berbagai daerah tidak kunjung reda. Kedua, nasionalisasi perusahaan belanda tidak membantu, karena tiadanya menejemen-menejemen yang cakap. PN, PDN, PPN yang yang didirikan dengan maksud dijadikan salah satu jalan untuk mempercepat tercapainya sosialisme di ndonesia, hanya menguntungkan segelintir elit. Keempat, biaya persiapan asian gemes IV, Kelima, perjalanan dinas sukarno keluarnegeri (dengan biaya negara), Keenam, tidak kundusifnya iklim politik bagi investasi modal asing, dan Ketujuh, ndonesia tengah focus terhadap kasus irian barat.
Kekacauan ini menempatkan tntara (Nasution) dalam posisi signifikan-kadang malah menjadi penyebab kekacauan-karena kebaranianya melakukan intervensi. Tentara denan jelas banyak campurtangan dalam hal perekonomian. Perlakuan keras dan diskriminatifnya atas pedagang Arab, India, dan terutama Cina menambah kekacauan situasi ekonomi dan politik: merenggangnya hubungan diplomatic Jakarta-Peking dan instanilitas ekonomi karena dislokasi, penimbunan barang dan implikasinya, tingkat inflasi semakin serius.
Untuk bersaing dengan kekuasaan Nasution Sukarno menempuh dua pokok: mendapatkan dukungan dari parpol yang berpusat dijawa dan merangkul AU berhubung AD sudah oleh nasution (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia modernt,1991). PKI menapat ruang setrategis nya di sini. Antara 17 %-25 % DPRGR di isi oleh PKI, termasuk ketika sukarno membentuk MPRS. PKI hanya tidak terwakili dalam kabinet.
Komposisi ini berpengaruh terhadap hubungan diplomatic Indonesia dengan dunia internasional. Kedekatan dengan Soviet, Cina, adalah konsekwensi dari konfigurasi kekuatan politik internalnya, lewat PKI maisaknya, namun semuanya di untungkan dari situasi ini. Kepentingan merebut iran barat pun digunakan tentera untuk menambah kedekatan dengan Uni Soviet. 1960 Camerad Khrushchev berkunjung keindonesia dan memberikan kredit sebesar $ 250 juta, juga pinjaman $ 450 juta, dalam bentuk persenjataan pada Januari 1961.
Angkatan bersenjata bertambah kuat. Personelnya mencapai sekitar 300.000 prajurut pada akhir 1962. bantuan persenjataan tersebut sering juga di bagi berdasarkan preferensi politik Sukarno. AU dan AL banyak menerima bantuan karena dipandang sukarno lebih kooperatif.
Di garis massa, PKI juga semakin berkibar. Keanggotaan BTI mencapai 5,7 juta, konon ¼-nya adalah petani dewasa, SOBSI hampir 3,3 juta. Awal 1963 anggota Pemuda rrakyat dan Gernawi mencapai 1,5 juta orang. Jumlah anggota PKI sendiri pada akhir 1962 lebih dari 20 juta yang yang menempatkannya sebagai partai komonis terbesa di negara non komonis mana pun (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia modernt,1991).
Pada kasus terselesainya sengketa Irian Barat, dalam beberapa hal justru di anggap merugikan pada format politik demokrasi terpimpin. Meliter ketakutan bila UU darurat perang akan di cabut dan akibatnya belanja meliter di kurangi, PKI juga takut terhadap politik yang kurang rasdikal akan menghalangi pertunbuhannya, begitu pula Sukarno merasa takut jika semangat rakyat yang berkobar pada masa rawan irian barat akan surut. Ketakutan yangsama juga dihadapi dalam konteks kasus luar negeri, yakni rencana pembentukan negara Malaysia yang di rencanakan sebagai persekutuan tanah melayu. Penolakan yang kemudian menjadi komoditas politik luar, dalam kepemimpinan propagandis demokrasi terpimpin: “Gayang Nekolim,” “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis”.
Kedekatan mahasiswa dengan meliter semakin jelas, yang ditunjukkannya dalam keikut sertaannya dalam pertahanan sipil melalui pembentukan resimen mahasiswa (Menwa). Pertama kali ini di bentuk pada tanggal 13 Juni 1956 di mana marwan bandung yang kemudian diikuti di universitas-universitas lainnya.
Masa ini memang lebih banyak menjelaskan bagaimanan kedekatan GM dengan elit lebih menjadi kunsi bagi isu-isu pergerakan. Dalam situasi yang masih harmonis antara meliter dan PKI (seperti kasus irian barat), banyak kelomppok GM yang bias bertemu, terkecuali bagi mereka yang telah dieksklusi garis idiologinya dalam format politik demokrasi terpimpin. Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 mendapat dukungan sepenuhnya dari mahasiswa. MMI dan PPMI membawa persoalan irian barat pada level nasional dan internasional melaui (IUS & ISC).
Pada juli 1961 PPMI sempat melaksanakan kongres ke IV yang memutuskan pembentukan presedium yang terdiri dari GMNI, PMKRI, GMD, CGMI, PMB,-ekslutif yang dianggap berorientasi kiri. Pada saat yang sama, Germasos dan HMI berhasil masuk keorgan-organ local di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya yang kemudian membentuk SOMAL. Persaingan keduanya di tandai pada keterlibatannya pada isu-isu politik ataukah tidak sebagai propaganda pergerakan. Bagi SOMAL, PPMI seringkali di anggap terlalu terlibat dalam isu/ perisyiwa politis. Jika diruntut maka apa yang disuarakan somal dapat dicari benag merahnya dengan aspirasi MMI. Dan ini bekan yang aneh, jika dalam komposisi ekskutif MMI terdapat perwakilan dari akademi hukum meliter, dan PTIK yang sangat dekat dengan kepentingan meliter.
Gerakan antar kedunya misalnya terungkap dalam penyikapan insiden di bandung rasial di bandung, Mei 1963. pernyataan konsulat PPMI di bandung menegaskan bahwa peristiwa ini tidak bermotif rasial, namun isu social yang diakibatkan oleh gap antara sikaya dan simiskin yang kian tajam.dalam kasus tersebut, konsulat PPMI di bandung pecah yang di ikuti 4 anggota PPMI bandung membentuk organ serupa dengan nama biro aksi mahasiswa. Keadaan ini di manfaatkan oleh MMI, yang mengiris organ pecahan PPMI di bandung tersebut dan membentuk majlis permusyawarata Indonesia (MAPEMI) agustus 1965.
Titik kulminasi dari kekacauan semenjak 1963 menemukan klimaksnya pada tahun 1965. kenaikan harga jauh tidak berimbang dengan penghasilan. Sejak 1963, tariff kereta api naik 500%. Tariff jasa umum seperti listrik dan air minum naik 400%. Dampak terhadap kenaikan ini terasa pada harga-harga di pasar. Dalam kuartal 1963 harga rata-rata kebutuhan dasar di pasar di Jakarta naik dua kali lipat dari tahun 1962 (indeks 1953: 100, 1958:203, 1962:1006, dan kuartal ke dua 1963:2302).
Ankatan bersenjatapun tidak luput dari problem finansial. Dalam catatan hermawan sulistyo, sejak 1963 angkatan bersenjata tidak mampu kembali membayar hutangnya. Akibatnya, sulit memperoleh dan merawat alat-alat perang. Suku cadang untuk pesawat tempur, radar, kapal dan system persenjataan lain tidak tersedia, sehingga banyak persenjataan moderent kalaitu tidak dapat di oprasikan.
Kondisi keuangan riil meliter lebih rinci yakni pada 1959, (anggaran meliter termasuk oprasi-oprasi meliter) di alokasikan 32, 26% dari anggaran pemerintah. Untuk tahun-tahun berikutnya sebesar 34,99% (1960), 29,28 (1961), 34, 72% (1962), 22, 10% (1963), 26,71% (1964), dan 41,54% (1965)
Kesukaran hidup rakyat ditepiskan lewat semboyan “AMPERA, berdiri di atas kaki sendiri” . deklarasi ekonomi (Dekon) 23 Maret 1963 justru memperioritaskan pembangunan ekonomi yang tidak produktif-populis (sarinah Depertemen store, tugu monas, gedung DPR/MPR, penyelenggaraan ganifo, dll). Hampir tiada pemikiran serius terhadap upaya recovery ekonomi.
Di mana ada ujung lebar kesenjangan/kemiskinan, disanalah lading subur komonisme. Postulat ini agaknya tepat untuk mengilustrsikan prilaku PKI di saat krisis. Di puncak kerisis, PKI masih tetap bertahan dengan jargon-jargon anti klonialisme-imperialisme. Paling menonjol adalah aksi-aksi yang dilancarkan untuk menggayang film-film AS dengan tuduhan menjadi sarang CIA, yang mengenai kelompok-kelompok professional fungsional (muncul sejak1953) seperti seniman, pengarang, wartawan, orang perfilman, organisasi wartawan, organisasi mahasiswa (trend berdansa di diskotik).
Pertentangan antara kelompok mahasiswa akhirnya tidak bias di hindari, yang terbialah antara yang pro atau kontra Manipol USDEK. Bahkan di ITB konflik ini meluas hingga isu rasial. PPMI bandung di bubarkan. Sementara itu, kongres IV MMI pada awal april 1964 di malino tak luput dari area perebutan pengaruh kekuatan politik di linkar utama kekuasaan.
on Kamis, 14 Juli 2011
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------

PERAN ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM


A. CITA NEGARA HUKUM DAN SISTEM HUKUM NASIONAL
Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the foun¬ding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu kon¬sep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum se¬ba¬gai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (ele¬men instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hu¬kum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau pene¬rapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan per¬adil¬an atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan pene¬gakan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksa¬an, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibat¬kan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law infor-mation management) sebagai kegiatan penunjang. Ke¬lima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fung¬si kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial . Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kese¬mua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah, tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indo¬nesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Konti¬nen¬tal (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bah¬kan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga di¬akui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di Jakarta harus diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil di Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku ter¬pencil di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Nusantara.
Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengeta¬huan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikan¬nya seperti Indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris. Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu norma hukum ke¬pada mereka yang sama sekali tidak mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan pembuatan hukum (law making) dan pe¬negakan hukum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasya¬rakatan hukum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan di-anggap tidak penting selama ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang me¬nyadari hak dan kewajibannya seca¬ra hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, memahami hukum secara kompre¬hen¬sif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hen¬daklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.

B. PENEGAKAN HUKUM
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me¬lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng¬keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu-tion). Bah¬kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat¬an pe¬ne¬gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di¬mak¬sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma¬tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se¬gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be¬nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti¬nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me¬nyang¬kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe¬nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang¬an, khu¬susnya –yang lebih sempit lagi— melalui proses per¬adil¬an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke¬jak¬saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per¬adilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan¬nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu¬kum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para pe¬ne¬gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso¬alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja¬bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga¬nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca¬mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti¬tusio¬na¬lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio¬na¬lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi) , (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na¬sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen¬didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan kualitas profesional di kalang¬an profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembi¬naan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesi¬nambung¬an. Di samping itu, pem¬bi¬naan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dila¬kukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesi¬nya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya.
Di samping itu, agenda penegakan hukum juga me¬mer¬lukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang me¬menuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemim¬pinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi ling¬kungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integri-tas kepri¬badian orang yang taat aturan.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum da¬pat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pem¬bu¬dayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide nega¬¬ra hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait de¬ngan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sis¬tem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis tek¬nologi informasi (information technology); (b) pening¬katan Upaya Publikasi, Ko¬munikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bi-dang hukum.
Dalam rangka komunikasi hukum, perlu dipikirkan kembali kebutuhan adanya media digital dan elektro¬nika, baik radio, televisi maupun jaringan internet dan media lain¬nya yang dimiliki dan dikelola khusus oleh pemerintah. Me¬nge¬nai televisi dan radio dapat dikatakan bahwa televisi dan radio swasta sudah sangat banyak dan karena itu, ke¬mung¬kinan terjadinya dominasi arus informasi sepihak dari peme¬rintah seperti terjadi selama masa Orde Baru tidak mung¬kin lagi terjadi. Karena itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah tersedia sangat banyak dan bera-gam. Namun, arus informasi dari pemerintah kepa¬da ma¬sya¬rakat, khususnya berkenaan dengan pendidikan dan pe¬ma¬sya¬¬rakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu, pem¬ba¬ngunan media khusus tersebut dirasakan sangat di¬perlu¬kan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan ter¬ma¬suk me¬ngenai kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum seperti yang dimaksud.

C. PERAN ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab , sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.
Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.

Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan.
Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:
a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

D. INFRASTRUKTUR SISTEM KODE ETIK ADVOKAT
Untuk menunjang ber¬fungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor ke¬negaraan dan pemerintahan selalu terda¬pat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organi¬sasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organi¬sasi. Namun, baru sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perang¬kat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh di¬jadikan pedoman peri-laku berorganisasi. Pada umumnya, dokumen-dokumen per¬aturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga terse¬but hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kong¬res, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang ber-sangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut ha¬nya biasa dilupakan.
Demikian pula halnya UU Advokat teleh menentukan adanya kewajiban menyusun kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi Advokat.
Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.
Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.

DAFTAR PUSTAKA


Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
_______________. “UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas di Masa Depan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
Montesquieu. The Spirit of the laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.
Phillips, O. Hood and Paul Jackson. Constitutional And Administrative Law. Eighth Edition. London: Sweet & Maxwell, 2001.

Analisa SWOT

Apa itu Teori Analisis SWOT?
            Teori Analisis SWOT adalah sebuah teori yang digunakan untuk merencanakan sesuatu hal yang dilakukan dengan SWOT. SWOT adalah sebuah singkatan dari, S adalah STRENGHT atau Kekuatan, W adalah WEAKNESS atau Kelemahan, O adalah OPPORTUNITY atau Kesempatan, dan T adalah THREAT atau Ancaman. SWOT ini biasa digunakan untuk menganalisis suatu kondisi dimana akan dibuat sebuah rencana untuk melakukan sesuatu, sebagai contoh, program kerja.       
SWOT untuk organisasi
            Dalam sebuah organisasi biasanya setiap awal periode kepengurusan akan dilaksanakan pembuatan rencana program kerja, untuk itu biasanya akan dilakukan sebuah analisis kondisi mengenai suatu organisasi tersebut. Analisis SWOT biasanya dicantumkan dalam GBHK (Garis-garis Besar Haluan Kerja) yang menjelaskan tentang kondisi lingkungan organisasi baik kondisi internal maupun external.        
Analisis SWOT ini merupakan sebuah “penyelidikan” tentang situasi dan kondisi dalam suatu lingkungan. Contohnya adalah:
“Ada sebuah organisasi yang akan membuat program kerja, untuk itu mereka harus tahu tentang kondisi organisasi mereka dan lingkungan dimana organisasi itu berada. Untuk itu mereka melakukan analisis SWOT, pertama S, yaitu dengan mengetahui kekuatan organisasi –dalam hal ini, kekuatan bisa diartikan sebagai kondisi yang menguntungkan untuk organisasi- tersebut. Misalnya, pengurus yang setia terhadap organisasi, atau kas organisasi yang banyak, dll. Kedua W, yaitu dengan mengetahui kelemahan organisasi –dalam hal ini, kelemahan bisa diartikan sebagai suatu kondisi yang merugikan untuk organisasi- tersebut. Misalnya, kondisi anggota yang tidak aktif, dana yang tak ada, dll.          
Ketiga O, yaitu dengan mengetahui kesempatan organisasi – dalam hal ini bisa diartikan sebagai suatu hal yang bisa menguntungkan jika dilakukan namun jika tidak diambil bisa merugikan, atau sebaliknya. Misalnya, sumber dana ada bila diminta. Keempat T, yaitu dengan mengetahui ancaman organisasi – dalam hal ini bisa diartikan sebagai suatu hal yang akan menghambat atau mengancam selama perjalanan kepengurusan. Misalnya, banyak pengurus dan anggota yang tidak aktif.         
Setelah dilakukan analisis SWOT maka jadi mengetahui kondisi nyata apa yang terjadi di lingkungan internal dan external organisas, maka dapat mulai membuat rencana program kerja yang sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan dan mampu untuk dilaksanakan oleh pengurus tersebut.”

Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Pelayanan Publik

Prolog
Sejak awal 1990-an, Good Governance telah menjadi kredo baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kendati demikian, masih terdapat beberapa perbedaan penekanan, walaupun terdapat persamaan fokus dan ide utamanya. UNDP, misalnya, memberikan penekanan khusus pada pembangunan manusia yang berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan transformasi administrasi publik (UN Report, 1998). Sementara itu, Bank Dunia lebih memberikan perhatian pada pendayagunaan sumber daya sosial dan ekonomi bagi pembangunan. Sedangkan Organisation for Economic Cooperation dan Development (OECD) menekankan pada penghargaan hak-hak asasi manusia, demokrasi dan legitimasi pemerintah.
Secara konseptual, Good Governance oleh UNDP dipahami sebagai implementasi otoritas politik, ekonomi, dan administratif dalam proses manajemen berbagai urusan publik pada berbagai level dalam suatu negara. Merujuk pada konsepsi tersebut, Good Governance memiliki beberapa atribut kunci seperti efektif, partisipatif, transparan, akuntabel, produktif, dan sejajar serta mampu mempromosikan penegakan hukum. Di atas semua itu, atribut utama Good Governance adalah bagaimana penggunaan kekuasaan dan otoritas dalam penyelesaian berbagai persoalan publik. Dalam konteks itu, mekanisme kontrol (check and balance) perlu ditegakkan sehingga tidak ada satu komponen pun yang memegang kekuasaan absolut. Salah satu mekanisme yang digunakan adalah dengan menegakkan akuntabilitas sistem, struktur, organisasi dan staf atas apa yang menjadi tanggung jawab, fungsi, tugasnya yang antara lain terlihat dari perilaku atau budaya kerjanya.
Di kebanyakan negara berkembang, perhatian utama terhadap Good Governance dalam kaitan dengan penggunaan otoritas dan manajemen sektor publik, adalah pervasifnya korupsi yang cenderung menjadi karakter tipikal yang melekat. Bahkan di beberapa negara terbukti bahwa budaya korupsi telah begitu melekat di dalam birokrasi pemerintah yang justru ditandai oleh kelangkaan sumber daya. Dalam konteks itu, absennya akuntabilitas sangat menonjol dan menjadi satu karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu.

Tiga Dimensi Akuntabilitas
Akuntabilitas Politik, biasanya dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu mandat yang diberikan masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi legislatif dan eksekutif dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan kedua kekuasaan tersebut bersifat temporer karena mandat pemilut sangat tergantung pada hasil pemilu yang dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk negara-negara di mana mandat pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat bebas dan hasilnya diterima oleh semua pihak), masyarakat menggunakan hak suaranya untuk mempertahankan para politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang baik serta menjatuhkan pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk. Mandat elektoral yang kuat memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu menjamin kredibilitasnya, di samping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang diformulasikannya.
Akuntabilitas Finansial, fokus utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang penggunaan dana publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah diaudit secara profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa dana publik telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif. Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan laporan, proses audit, serta kualitas audit. Perhatian khusus diberikan pada kinerja dan nilai uang serta penegakan sanksi untuk mengantisipasi dan mengatasi penyalahgunaan, mismanajemen, atau korupsi. Jika terdapat bantuan finansial eksternal, misalnya dari pinjaman lembaga keuangan multilateral atau melalui bantuan pembangunan oleh lembaga donor, maka standar akuntansi dan audit dari berbagai lembaga yang berwenang harus diperhatikan. Hal inilah yang kiranya dapat menjelaskan besarnya perhatian pada standar akuntansi dan audit internasional dalam menegakkan akuntabilitas finansial. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana. Hasil tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan stakeholders (seperti donor) untuk menilai kinerja pemerintah berdasarkan sasaran tertentu yang telah disepakati sebelumnya.
Akuntabilitas administratif, merujuk pada kewajiban untuk menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian, akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan pelayan publik, khususnya para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu.
Secara umum, spektrum yang begitu luas telah menyebabkan digunakannya konsep akuntabilitas secara fleksibel. Yang paling mudah adalah mengidentikkan akuntabilitas pelayan publik dengan bentuk pertanggung jawaban mereka kepada atasannya, baik secara politik maupun administratif.
Di tempat lain, Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando tertentu.
Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama akuntabilitas, yaitu:
Adanya kekuasaan untuk mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan dibuat. Hal ini berkaitan dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan menundukkan mereka di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).
Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang pejabat untuk menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang langsung berkaitan dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen publik baru (new public management). Hal ini mungkin saja tergantung pada target kinerja formal yang berkaitan dengan gerakan manajemen publik baru.
Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada analisis operasi suatu departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang dilakukan oleh lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen, ombudsmen, atau lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar negara seperti media massa dan kelompok penekan. Aspek subyektivitas dan ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu seringkali bervariasi, tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya.

Beberapa Metode Untuk Menegakkkan Akuntabilitas
Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya. Jika komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum. Pemerintah dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya. Peran lembaga peradilan dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara signifikan antara negara, antara negara yang memiliki sistem peradilan administratif khusus seperti perancis, hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua persoalan hukum diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang berkaitan dengan pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua faktor utama yang menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi hukum dan tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa suatu sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas legal.
Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi maupun legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani masyarakat. Sejak diperkenalkan pertama kali di Swedia pada abad 19, Ombudsmen telah menyebar ke berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Secara umum, masyarakat dapat mengajukan keluhannya secara langsung kepada lembaga ini, baik melalui surat maupun telepon. Di beberapa negara, misalnya Inggris, Ombudsmen dilihat sebagai perluasan kontrol parlemen terhadap eksekutif dan keluhan masyarakat disalurkan melalui anggota parlemen. Pada hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan tugas investigatifnya tanpa memungut biaya dari masyarakat.
Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas dalam pelayanan publik juga dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat beberapa situasi khusus di mana berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan oleh para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal. Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal. Itupun sangat bervariasi secara signifikan sesuai derajat otonomi yang diperoleh, dari otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga otonomi terbatas yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang tinggi terhadap NGOs dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat dalam penyediaan pelayanan publik menjadi salah satu perkembangan yang menjanjikan bagi terwujudnya manajemen publik yang terdesentralisasi dan bertanggung jawab.
Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat sering memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena relatif permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya, kepala-kepala unit pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-negara dengan struktur administratif yang lemah, terutama di negara-negara berkembang dan beberapa negara komunis, metode kontrol tersebut memiliki dampak yang terbatas. Masalah ini disebabkan karena hubungan yang kurang jelas antara kepemimpinan politik yang bersifat temporer dan pejabat publik yang diangkat secara permanen. Jika mereka melakukan persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa diwujudkan (hal ini juga terjadi sejak lama di negara-negara maju) dan jika mereka terlibat dalam konflik, maka yang menjadi korban adalah kepentingan publik.
Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks, efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana diuraikan di atas sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini publik. Tantangannya, misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan dan menghukum para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang menentukan dampak aktual dari media massa dan opini publik. Pertama, kebebasan berekspresi dan berserikat harus diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan tersebut dilindungi dalam konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat diukur dari peran media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan) dan pentingnya peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita, lembaga konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan berbagai tugas pemerintah harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses masyarakat terhadap informasi. Hal ini harus dijamin melalui konstitusi (misalnya, UU Kebebasan Informasi) dengan hanya mempertimbangkan pertimbangan keamanan nasional (dalam pengertian sempit) dan privasi setiap individu. Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya dapat diakses secara luas antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa akan sedikit dibatasi. Ketiga, adanya pendidikan sipil yang diberikan kepada warga negara, pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya, di samping kesiapan untuk menjalankannya¡

Referensi
OECD Ministerial Symposium on the Future of Public Services, diselenggarakan di Paris, Maret 1996.
Agere, S., Promoting Good Governance. Commonwealth Secretariat Marlborough House Pall Mall, London, 2000.
World Bank, “Strengthening Local Government in Sub-Saharan Africa,” EDI Policy Seminar Report No. 21, Washington DC, 1989.
World Bank, Governance and Development, Washington, D.C., 1992.
Polidano, C., “Why Bureaucrats Can’t Always Do What Ministers Want: Multiple Accountabilities in Westminster Democracies.” Public Policy and Administration 13, No. 1, Spring 1998, p 38.

"pemberontak" adalah pahlawan

on Senin, 11 Juli 2011
assalamualaikum
tangan terkepal dan maju kemuka, bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan
terkadang ketika mendengar kata pemberontak pastilah dalam pikiran adalah NEGATIVE
tidak dapat di pungkiri dalam berorganisasi kita akan menemukan hal tersebut.
tapi yakinlah semua itu ada hikmahnya meskipun hal tersebut adalah hal negativ,
jika kita mencoba berpikir dengan baik pengalaman akan sia-sia jika pengalaman itu kurang mengesankan, saya telah banyak mendengarkan alasan-alasan rasional dari para pelaku"pemberontak" dan saya anggap alasan mereka sangatlah positif untuk perkembangan suatu organisasi.
saya disini hanya akan mengutip alasan-alasan para "pemberontak" yang saya anggap mereka pahlawan ..
saya pernah bertanya mengapa mereka menjadi "pemberontak"??

inisial B.T "pemberontak" : saya memberontak bukanlah untuk menghancurkan organisasi tapi sebaliknya,saya miris dengan keadaan organisasi saat ini yang seakan-akan buta akan tujuanya maka dari itu saya mencoba memberi theuraphy kepada mereka yang telah terjebak dalam system yang menurut saya telah melenceng dari tujuan berorganisasi, contoh konkrit mengapa pejabat banyak yang tersandung kasus kkn tidak lain penyebabnya karena mereka berproses di dalam system yang buruk,oleh sebab itu saya keluar, tapi yang perlu di ingat saya tidak keluar dari organisasi tersebut melainkan keluar dari systemnya, dan saya putuskan untuk menerapkan system saya langsung ke masyarakat. karena percuma saya terapkan di organisasi tersebut pasti akan tertolak dengan sendirinya,karena melawan arus yang lebih besar dan kemungkinan untuk merubahnya pun sangat tipis.

THEURAPHY APA YANG SUDAH ANDA AKAN BERIKAN ??
sampai saat ini saya masih pada taraf NDP saja, karena hal ini yang hampir punah di kalangan mereka, padahal sebagai organisatoris harus punya nilai-nilai ini, karena hal ini dasar mereka untuk berorganisasi

APA YANG ANDA SESALKAN ??
saya hanya menyesalkan kenapa orang-orang yang seperti saya di fitnah dengan membuat isu bahwa saya "murtad" dari organisasi tersebut atau istilah organisasinya "pemberontak" padahal jika mengetahui niat saya untuk keluar dari system tersebut adalah bentuk perlawanan terhadap keburukan, karena jika saya mengikuti arus tersebut tidak menutup kemungkinan akan menjadi boomerang bagi diri saya kedepanya.

APA HARAPAN ANDA UNTUK BERORGANISASI KEDEPANYA??
next time

FILSAFAT

on Selasa, 05 Juli 2011
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar.[1] Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Etimologi
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

Klasifikasi filsafat
Plato dan Aristotle, menurut lukisan Raffaelo Sanzio pada tahun 1509
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.

Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus dalam Ontologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas dalam Kosmologi.
Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
Etika, atau filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Beberapa topik yang dibahas di sini adalah soal kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya.
Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.

Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.

Filsafat Timur Tengah
Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarahnya merupakan para filsuf yang bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah adalah Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibran dan Averroes.

Filsafat Islam
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dbahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.

Filsafat Kristen
Filsafat Kristen mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas dan Santo Bonaventura

Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada [agama] lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Buku karangan plato yg terkenal adalah berjudul "etika, republik, apologi, phaedo, dan krito".

Sejarah Filsafat Barat
Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer.

Klasik
"Pra Sokrates": Thales - Anaximander - Anaximenes - Pythagoras - Xenophanes - Parmenides - Zeno - Herakleitos - Empedocles - Democritus - Anaxagoras
"Zaman Keemasan": Sokrates - Plato - Aristoteles

Abad Pertengahan
"Skolastik": Thomas Aquino

Modern
Machiavelli - Giordano Bruno - Francis Bacon - Rene Descartes - Baruch de Spinoza- Blaise Pascal - Leibniz - Thomas Hobbes - John Locke - George Berkeley - David Hume - William Wollaston - Anthony Collins - John Toland - Pierre Bayle - Denis Diderot - Jean le Rond d'Alembert - De la Mettrie - Condillac - Helvetius - Holbach - Voltaire - Montesquieu - De Nemours - Quesnay - Turgot - Rousseau - Thomasius - Ch Wolff - Reimarus - Mendelssohn - Lessing - Georg Hegel - Immanuel Kant - Fichte - Schelling - Schopenhauer - De Maistre - De Bonald - Chateaubriand - De Lamennais - Destutt de Tracy - De Volney - Cabanis - De Biran - Fourier - Saint Simon - Proudhon - A. Comte - JS Mill - Spencer - Feuerbach - Karl Marx - Soren Kierkegaard - Friedrich Nietzsche - Edmund Husserl

Kontemporer
Jean Baudrillard - Michel Foucault - Martin Heidegger - Karl Popper - Bertrand Russell - Jean-Paul Sartre - Albert Camus - Jurgen Habermas - Richard Rotry - Feyerabend- Jacques Derrida - Mahzab Frankfurt

CULTURAL STUDIES

Istilah Cultural Sudies pertama kali dipopulerkan oleh Stuart Hall professor sosiologi di Open University, Milton Keynes, Inggris. Hall mengkritik para ilmuwan komunikasi yang mayoritas menggunakan pendekatan empiris, kuantitatif, dan cenderung hanya melihat hubungan kausalitas dalam praktek komunikasimassa. Menurutnya, mereka gagal untuk melihat apa yang seharusnya menjadi penting di dalam pengaruh media massa terhadap masyarakat. Pengaruh media massa tidak dapat dilihat hanya melalui survey terhadap pembaca surat kabar, pendengar radio atau penonton televisi. Karena persoalannya ternyata lebih dari itu.
Hall sendiri banyak dipengaruhi oleh pemikiran Marxis yang melihat bahwa terdapat hubungan kekuatan atau kekuasaan dibalik praktek masyarakat, terutama dalam praktek komunikasi massa dan media massa. Hall juga mengkriitk para ilmuwan yang hanya sekedar mampu menggambarkan tentang dunia, akan tetapi tidak berusaha untuk mengubah dunia tersebut ke arah yang lebih baik. Tujuan Hall dan para ilmuwan dari Teori Kritis adalah memberdayakan dan memberikan kekuatan kepada masyarakat yang termarjinalkan atau terpinggirkan terutama dalam ranah komunikasi massa.
Hall yakin bahwa fungsi media massa pada dasarnya adalah untuk menjaga kelanggengan kekuasaan yang dominan. Media penyiaran maupun media cetak hanya dimiliki oleh sekelompok orang. Media juga dianggap mengeksploitasi pihak-pihak yang miskin dan lemah.
Hall mengklaim bahwa banyak penelitian komunikasi gagal untuk mengungkap pertarungan kekuasaan dibalik praktek media massa tersebut. Menurutnya adalah kesalahan jika memisahkan komunikasi dari disiplin ilmu-ilmu lainnya. Jika hal tersebut dilakukan maka kita telah memisahkan pesan komunikasi dengan ranah budaya di mana seharusnya mereka berada. Oleh karena itu, karya Hall lebih disebut sebagai Cultural Studies daripada Media Studies.
Pada tahun 1970an Hall mendirikan Center for Contemporerary Cultural Studies (CCCS) di University of Birmingham. Di bawah pimpinan Hall, CCCS mengusung misi untuk memberikan gambaran tentang pertarungan antara “yang memiliki kekuasaan dan yang tidak memiliki kekuasaan”. Tujuannya utamanya adalah untuk merebut sedikit “ruang” di mana agar suara-suara pihak yang termarjinalkan dapat dan bisa terdengar di dalam praktek komunikasi.
Ketika Hall mengusung tujuan untuk membuka kedok praktek ketimpangan kekuasaan di dalam masyarakat, Hall mengatakan bahwa pendekatan cultural studies baru dapat berhasil jika kita penelitian media yang gagal mengkaitkan diri dengan ideologi di balik raktek media massa. Hall menginginkan agar membebaskan masyarakat dari ketidaksadaran akan dominasi ideologi didalam budaya kita sehari-hari. Cultural Studies mencoba untuk membangkitkan kesadaran kita akan peran media massa dalam memelihara status quo.
Cultural Studies pada dasarnya adalah pemikiran yang rumit. Hall banyak dipengaruhi oleh pemikiran dalam ide tentang determinisme ekonomi, analisis teksual dalam studi semiotika, dan terutama pemikiran tentang kritik filsafat/bahasa-nya Michel Foucault.
Frankfurt School sendiri menyatakan bahwa media massa, baik itu berita maupun tayangan hiburan, pada hakikatnya memberikan gambaran tentang dunia dari sudut pandang sistem kapitalis. media cenderung perspektif status-quo tersebut dalam berbagai produk media massa yang pada nantinya mengubah media menjadi industri budaya (culture industries). Hall juga mengadopsi konsep hegemoni. Menurutnya, terjadi hegemoni–penguasaan atau dominasi satu pihak oleh pihak yang lain–terutama dalam peran budaya dalam praktek media massa. Praktek hegemoni ini tidak melulu bersifat disadari, koersif, dan memiliki efek yang total. Meskipun tayangan media massa itu beragam namun pada dasarnya mengarahkan kepada perspektif yang cenderung kepada standar yang dimiliki oleh status-quo itu sendiri. Hasilnya, media massa bukannya merefleksikan apa yang ada di masyarakat, tapi berubah menjadi mampu menentukan apa yang seharusnya terjadi dalam masyarakat.

daftar pustaka:
Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003

PERAN ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM

A. CITA NEGARA HUKUM DAN SISTEM HUKUM NASIONAL
Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the foun¬ding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Namun, bagaimana cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami sebagai suatu kon¬sep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum. Dalam hukum se¬ba¬gai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (ele¬men instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hu¬kum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau pene¬rapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan per¬adil¬an atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan pene¬gakan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana melibatkan peran kepolisian, kejaksa¬an, advokat, dan kehakiman atau di bidang perdata melibat¬kan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law infor-mation management) sebagai kegiatan penunjang. Ke¬lima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fung¬si kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial . Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kese¬mua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah, tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indo¬nesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Konti¬nen¬tal (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bah¬kan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga di¬akui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di Jakarta harus diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil di Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku ter¬pencil di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Nusantara.
Teori fiktie di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengeta¬huan masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikan¬nya seperti Indonesia, sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris. Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu norma hukum ke¬pada mereka yang sama sekali tidak mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan pembuatan hukum (law making) dan pe¬negakan hukum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasya¬rakatan hukum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan di-anggap tidak penting selama ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang me¬nyadari hak dan kewajibannya seca¬ra hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, memahami hukum secara kompre¬hen¬sif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hen¬daklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.

B. PENEGAKAN HUKUM
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me¬lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng¬keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu-tion). Bah¬kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat¬an pe¬ne¬gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di¬mak¬sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma¬tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se¬gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be¬nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti¬nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me¬nyang¬kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe¬nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang¬an, khu¬susnya –yang lebih sempit lagi— melalui proses per¬adil¬an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke¬jak¬saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per¬adilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan¬nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu¬kum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para pe¬ne¬gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso¬alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja¬bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga¬nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca¬mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti¬tusio¬na¬lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio¬na¬lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi) , (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na¬sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen¬didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan kualitas profesional di kalang¬an profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembi¬naan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesi¬nambung¬an. Di samping itu, pem¬bi¬naan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dila¬kukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesi¬nya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya.
Di samping itu, agenda penegakan hukum juga me¬mer¬lukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang me¬menuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemim¬pinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi ling¬kungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integri-tas kepri¬badian orang yang taat aturan.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum da¬pat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pem¬bu¬dayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide nega¬¬ra hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait de¬ngan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sis¬tem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis tek¬nologi informasi (information technology); (b) pening¬katan Upaya Publikasi, Ko¬munikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bi-dang hukum.
Dalam rangka komunikasi hukum, perlu dipikirkan kembali kebutuhan adanya media digital dan elektro¬nika, baik radio, televisi maupun jaringan internet dan media lain¬nya yang dimiliki dan dikelola khusus oleh pemerintah. Me¬nge¬nai televisi dan radio dapat dikatakan bahwa televisi dan radio swasta sudah sangat banyak dan karena itu, ke¬mung¬kinan terjadinya dominasi arus informasi sepihak dari peme¬rintah seperti terjadi selama masa Orde Baru tidak mung¬kin lagi terjadi. Karena itu, sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah tersedia sangat banyak dan bera-gam. Namun, arus informasi dari pemerintah kepa¬da ma¬sya¬rakat, khususnya berkenaan dengan pendidikan dan pe¬ma¬sya¬¬rakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu, pem¬ba¬ngunan media khusus tersebut dirasakan sangat di¬perlu¬kan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan ter¬ma¬suk me¬ngenai kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum seperti yang dimaksud.

C. PERAN ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-ban lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab , sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.
Dengan demikian, profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Advokat telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya, yaitu:
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
- bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
- bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
- bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.

Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan.
Selain itu, untuk mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran Organisasi Advokat. UU Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:
a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
e. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan tercela;
f. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

D. INFRASTRUKTUR SISTEM KODE ETIK ADVOKAT
Untuk menunjang ber¬fungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di setiap sektor ke¬negaraan dan pemerintahan selalu terda¬pat peraturan tata tertib serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan organisasi-organi¬sasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organi¬sasi. Namun, baru sedikit sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki perang¬kat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud. Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak sungguh-sungguh di¬jadikan pedoman peri-laku berorganisasi. Pada umumnya, dokumen-dokumen per¬aturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga terse¬but hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kong¬res, muktamar atau musyawarah nasional organisasi yang ber-sangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut ha¬nya biasa dilupakan.
Demikian pula halnya UU Advokat teleh menentukan adanya kewajiban menyusun kode etik profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi Advokat.
Untuk itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan. Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme pengawasan yang tegas dan efektif.
Sebagai organisasi profesi yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan yang dibuat tentu harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.

DAFTAR PUSTAKA


Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
_______________. “UUD 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas di Masa Depan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
______________. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
Montesquieu. The Spirit of the laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914.
Phillips, O. Hood and Paul Jackson. Constitutional And Administrative Law. Eighth Edition. London: Sweet & Maxwell, 2001.