MEMBACA SEJARAH PERGERAKAN

on Rabu, 20 Juli 2011
Menuntaskan Transformasi Demokratik
Pemuda dan mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di Indonesia sejak jaman penjajahan Kolonial Belanda hingga sekarang. Peran kesejarahan dan keterlibatan yang sangat panjang telah menempatkan sebagai kelompok strategis yang memiliki daya dorong transformasi sosial yang signifikan. Hingga tepatlah kiranya bila mahasiswa dianggap sebagai salah satu ikon penting dalam perubahan sosial di Indonesia.
Membaca Gerakan Mahasiswa (GM) kontemporer karenanya butuh pembacaan historisnya. Yakni pembacaan atas berbagai konteks dan problematika GM Indonesia sedari kelahirannya. Mulai dari perlawanan atas imperialisme sampai pergulingan rezim dispotis, upaya pendekonstruksian formasi sosial masyarakat, keberadaannya sebagai motor penggerak, pengorganisasian, hingga visi strategis GM.
Singkatnya, riset ini difokuskan pada dialektika pergerakam pemuda dan mahasiswa sepanjang sejarah keIndonesiaan, yakni rentang waktu 1900-an hingga 2003 (kekinian). Vareabel penjelasnya ditekankan pada dua wilayah, yakni konteks yang mengerangkai (Global-Nasional-Lokal) dan aktor pergerakan.
Kebangkitan Nasional 1908 menjadi penanda salah satu tonggak sejarah kebangsaan. Namun dia tentunya dilatari setting sosial tertentu. Pelacakannya bisa diruntut pasca pemberlakuan politik etis, walaupun ada beberapa peristiwa penting yang mengintrodusir terjadinya "Ledakan" pergerakan di masa ini. Sebagaimana diketahui, sejak revolusi pengatahuan-teknologi era Renaissance di Barat, memacu perubahan besar pada tatanan Dunia. Persaingan antara Negara bangsa di Eropa melalui pencarian Dunia baru yang di iringi praktek imperialisme. Indonesia tidak luput dari proses ini ketia masuknya bangsa Portugis, Belanda,hingga Jepang.
Belanda masuk sejak Tahun 1596-Cornelis De Houtman di Banten – dan puncaknya pada masa kekuasaan VOC-kongsi dagang pemerintah Belanda-VOC melalui eksploitasinya Tahun 1602 di bawah komando Gubernur Jendral Hindia Belanda, J.P Coen (meminpin 1619-1623 dan 1627-1629). Dari yang tadinya praktek monopoli "alamiah" dalam perdagangan rempah-rempah, hingga penggunaan kekuatan politik, yakni masa culture stelsel (culture sistem,culture sistem, cultivation sistem, tanam paksa) dan seterusnya.
Culture stelsel dilakukan karena pailitnya VOC (31-12-1799). Sebelumnya Hindia Belanda sempat dibawah jajahan Inggris selama lima Tahun (1811-1816) di bawah Sir Thomas Stanford Raffles. Tanam paksa kurang lebih selama 40 Tahun (1830-1870) di bawah gubernur jendral Van Den Bosch.
Cara eksploitasi model Culture Stelsel ini sendri dapat diturunkan dari kebutuhan pemerintah Belanda untuk menutup kas Negara untuk membiayai peperangan yang terjadi di Eropa. Keterlibatan negera secara aktif dalam memobilisasi kekuatan ekonomi di daerah koloni karenanya di butuhkan.
Berikutnya, revolusi Februari 1848 di Perancis mengintrodusir pergeseran gagasan ekonomi-politk di Belanda termasuk Hindia Belanda di dalamnya. Liberalisme ekonomi adalah anak kandeng revolusi ini. Yang melalui desakan dari golongan Liberal (F. Van De Putte, De Waal, Thorbecke, dll) serta golongan humanis melalui E. Douwess Dekker (1812-1979) di Belanda.

Politik Etis
Kemenagan kaum Liberal di Belanda berakibat pada di gantikannya era tanam paksa oleh program politik etis. Pemiskinan di tanah Hindia Belanda dijadikan sebagai basis argumen kaum Liberal untuk menyerang kebijakan ekonomi politik pemerintah Belanda. Van De Venter melaui “Een Eerreschuld” (Debt of Honourl) utang Budi, dalam majalah De Gids 1899, mengkritik kebijakan Kolonial yang tidak memperhatikan kesejahteraan masysarakat pribumi, terutama di akhir abad ke-19 (G. Moedjanto, 1996:21). Kemakmuran Belanda, menurutnya, didapat dari jasa dan kerja orang Hindia Belanda. Ini adalah hutang yang harus di bayar. Pokok pikirannya di tuangkan dalam Trias Politica (Trias Van Devebter) yakni Irigasi, Emigrasi, dan Edukasi oleh pemerintah Belanda di tanah koloni. Inilah program politik dari politik etis yang di canagkan Tahun 1901 oleh ratu Wilhelmina.
Bagi kaum Liberal Belanda, politik etis secara ekonomi politik adalah kewajiban pemerintah Belanda untuk menyiapkan infrastruktur bagi masuknya modal swasta ke negeri jajahan. Swasta menuntut keterlibatan pada pengelolaan ekonomi Negara jajahan, yang pada saat yang bersamaan menuntut minggirnya Negara sebagai aktor utama. Pemiskinan yang melanggar kemanusiaan adalah propagandis bagi kebutuhan tenaga terdidik bagi perkebunan di Jawa dan luar Jawa, termasuk di dalamnya program irigasi dan emigrasi.
Dalam tafsir ini, politik etis adalah kamuflase politik bagi kebutuhan cara baru pengelolaan Negara jajahan dalam kerangka Kolonialistis dan imperialistis. Tesisini dapat di lihat dari sekian reduksi di level praktek. Tiga program ini senyatanya lebih menguntungkan Belanda, dan bukan untuk pribumi, seperti ekonomi (perlindungan dan bantuan bagi masyarakat pribumi), politik (pembebasan mobilitas vertikal pribumi untuk jabatan penting), dan pendidikan (keterbatasan akses, dan mobilitas untuk pos kebutuhan cara politik etis). Kelak, dampak dari transformasi eksploitasi itu melahirkan sekian perlawanan di Sumatra dan Lampung, yang menjadi sasaran trans migrasi.
Namun demikian implementasinya tidaklah tunggal. Di sisi lain, politik etis justru menjadi semacam nemesis (paradoks pendidikan) yang out putnya justru di pakai untuk melawan Belanda. Secara bertahap, kesadaraqn keterjajahan menimbulakan berbagai perlawanan, dari yang tadinya lokal ke Nasional. Ini tidak lepas dari faktor internal dan eksternalnya. Faktor internal tersebut adalah penderitaan penjajahan (rasa senasib seperjuangan); Pax Neerlandica yang telah memberi jalan kesatuan bangsa; komunikasi dan transportasi yang semakin maju; konsolidasi bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahas persatuhan; pergerakan Nasional sebagai reaksi terhadap lahirnya semangat kedaerahan; inspirasi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya dan sebgainya. Sedangkan faktor eksternalnya: kemenagan Jepang atas Rusia; perlawanan rakyat India; revolusi kaum muda Turki 1908 (Musthafa Kemal Fasha); revolusi Tionghoa 1911 (Dr,Sun Yat Sen) dan sebagainya (G. Moedjanto: 26).
Begitu politik etis dilaksanakan, sekolah untuk anak-anak Eropa mulai dibuka untuk anak-anak pribumi oleh Abendanon. Tahun 1902, sekolah juru kesehatan Bumiputera atau Sekolah Dokter Bumi Putera (School Voor Genees Kundigen) ditingkatkan menjadi Sekolah Dokter Bumim Putera (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arts - STOVIA) (Parakitri, 1955:225). Pada Tahun ini pula di mulai program politik etis yang lain, yakni transmigrasi dan irigasi.
Sekolah-sekolah inilah yang kemudian melahirkan lapis-lapis sosial terpelajar dalam masyarakat pribumi. Gerakan di masa awal, mulanya di pelopori oleh seorang ningrat-bukan mahasiswa-Dr. Wahidin Sodirohusodo yang pada Tahun 1901 memimpin majalah “Retnodoemilah” yang di terbitkan di Yogyakarta sejak Tahun 1895 (saat itu di pimpin oleh F.L Winter, seorang ahli bahsa Jawa). Wahidin berasal dari melati, Sleman Yogyakarta (W. 26 mei 1916) di Yogyakarta.
Pada Tahun 1906 ia keliling Jawa untuk merealisasikan keinginannya. Kemajuan menurtnya, akan tercapai dengan ilmu pengatahuan Barat lewat pendidikan dengan tanpa meninggalkan warisan Jawa. Safari ini juga dalam rangka mengumpulkan beasiwa (studiefonds), untuk meningkatkan pendidikan rakyat pribumi. Mamun gagasan Wahidin tidak di sukai oleh kalangan priyayi yang khawatir tersaingi. Tahun1907, di Jakarta dia bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulam pemuda dan mahasiswa, yakni Budi Utomo 20 Mei Tahun 1908. personelnya di ketuai oleh Dr. SUtomo (lahir di desa Ngapeh, Nganjuk, Jatim, 30 Juli 1888), Gunawan Mangun Kusumo (wakil ketua), dan dan Gondo Sowarno (sekretaris).
Pada Tahun 1924 ia juga mendirikan Sutdie Club di Surabaya yang kemudian melebur dalam Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pada 16 Oktober 1930, cara PBI dalam menghadapi penerintahahn Kolonial Belanda memilih jalan Tengah antara jalur kooperatif atau Non Kooperataf. Atas prakarsanya pada Tahun 1935 Budi Utomo dan PBI disatukan dalam wadah Partai Indonesia Raya (PARINDRA). Sotomo juga pernah bekerja sama dengan Ir. Soekarno membentuk badan pederasi bernama PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) pada Tahun 1927. PPPKI juga memiliki kontri busi besar bagi terlaksananya Kongres Indonesia Raya Tahun 1928 dan 1931 di Surabaya dimanan SUtomo menjadi ketuanya.
Pada dasawarsa 1920-an perlawanan di Jawa terbagi menjadi tiga Front, yaitu Front Jakarta yang dipimpin oleh Husni Tamrin, Front Bandung yang dipimpin oleh Sukarno, dan Front Jawa Timur yang di pimpin oleh SUtomo, yang meminpin dan banyak sekali menerbitkan surat kabar sebagai corong pergerakan seperti “Suara Umum, Tempo, Majalah Bangun, dan sebagainya”.
Masih di Tahun 1908, SUtomo di gantikan Rd. Adiati Tirtokusumo melalui kongres Budi Utomo I (11 Oktober 1909) bila masih terus di pimpin oleh para mahsiswa maka Budi Utomo akan kesulitan dalam hal finansial. Oleh karena itu disepakati untuk di serahkan pada kalangan para priyayi. Tirto Kusumo meminpin Budi Utomo mulai Tahun 1908-1914 (2 Priode), dilanjutkan Rd,Ng. Wediodipuro Tahun 1914-1915, R.M. Ario Suryosaputro Tahun 1915-1916, R.M. Ario Wuryonigrat. Kepemimpinan golongan priyayi membawa Budi Utomo pada karakter perlawanan yang cenderung kooperatif dengan pihak Kolonial.
Sebagai varian gerakan, Budi Utomo membuat “Organ Taktis” yakni Tri Koro Dharmo (berdiri 7 Maret 1915) yang diketuai oleh Sutiman Wryosanjoyo dan beranggotakan Sunardi (Wongso Negoro), SUtomo, Muslich, Musoda, dan Abdul Rahman. Walaupun asasnya bersifat Nasional dalam arti organisasi ini menpunyai kesadaran “Hindia”, namun anggotanya adalah murud-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Trikoro Dharmo dengan demikian masih sangat Jawa sentries.
Namun demikian dari organisasi ini dapat menjadi perkumnpulan pemuda-pemuda dan mahasiswa seluruh “Hindia”. Pada kongresnya di Solo, 12 Juni 1918, Trikoro Dharmo berubah menjadi Jong Java yang corak pergerakan an ruang lingkupnya lebih luas termasuk pemuda dan mahasiswa sunda. Konteks situasi Nasional pada saat itu samangat pergerakan untuk merebut kemerdekaan.
Selama eksis, Jong Java telah mampu menjadi salah satu bagian penting dalam pergerakan Nasional. Trikoro Dharmo secara konsep taktik-setrategik memang masih bersifat kedaerahan (Jawa sentris), walaupun kemudian mengalami perluasan. Namun konteks perlawanan tidaklah berbeda dengan yang terjadi di daerah lain pada saat itu (kurun waktu 1908-1917), yakni upaya keluar dan membeaskan diri dari jarring-jaring Kolonialisme, Kapitalisme dan Feodalisme.
Sebagai elemen pelopor atau perintis Trikoro Dharmo menjadi referensi gerakan di daerah lain. Pergantian nama menjadi Jong Java mengakhiri stigma “Jawa sentris”. Inilah usaha memperluas cakupan dan orientasi pergerakan. Di daerah lain organisasi-organisasi serupa-pun dibentuk, yang juga masih bersifat kedaerahan seperti Jong Sumatranen Bond/JBS (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918-1928), Jong Batak Bond (1925). Yang agak berbeda adalah Jong Islamieten Bond (JIB) Tahun 1925 yang menunjukkan-walaupun masih Partikular- kecendrungan kebutuhan menyatukan organisasi pemuda dan mahasiswa dalam skope yang lebih luas (Nasional), namun juga menandai pengaruh keagamaan yang menjadi daya dorong pergerakan secara formal dikalangan pemuda.
Inilah kecenderungan yang mampu melahirkan Jong Indonesia di Bandung pada Tanggal 27 Februari 1927 (hasi keputusan kongres pemuda I, 30 April 1926), Sumpah Pemuda (SP) sring disebut sebagai generasi penegas atau pendobrak-Tanggal 26-28 Oktober 1928. namun ini tentunya lebih bersifat momentum, karena sebelumnya pun tidak bisa di nafikan arti kegiatan serupa yang juga bersifat Nasional. “manifesto politik” perhimpunan Indonesia sebelumnya (indische vereeniging 1906-1922) yang dimuat Hindia poetra, edisi Maret 1923, telah mengintrodusir gagasan kesatuan, demokrasi, penilakan penjajahan, dan hak menentukan nasib sendiri dalam Indonesia yang merdeka. (1000 Tahun Nusantara, 2000:139-140).

Masa 1928-1939
SP 1928 menjadi referensi orientasi persatuan Nasional bagi pergerakan mahasiswa dan pemuda waktu itu, seperti munculnya Indonesia Muda (IM) Tahun 1930 sebagai hasil peleburan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (JSB, JC, JM, SR, dan yang lainnya). IM dipelopori oleh perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI).
Dalam perjalannya, banyak organ ini tidak terlepas dari intrik dan friksi internal serta intervensi Kolonial melalui tindakannya yang represif. Pada kasus IM, persoalan eksternal dan internal tersebut mampu mendomestifikasikannya hingga gagal memberikan kontribusi signifikan. Realitas ini mendorongan banyaknya anggota IM keluar dan membentuk organ lainnya seperti Soeleh Pemuda Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemuda Revolusioner (PERPIRI), dan di kemudian waktu juga mengalami problem sama. Kevakuman grakan pemuda di tingkat Nasional sudah mulai terlihat.
Vakumnya IM dan organ-organ lainnya telah sedikit melumpuhkan semangat pergerakan Nasional. Kevakuman dan krisis pergerakan yang seharusnya terkait dengan konteks eksternal, seperti malaise ekonomi Dunia Tahun 1929/1930, pembatasan Hak berkumpul dan berserikat (pengawasan Polisi) dalam rapat-rapat Partai, larangan pegawai dalam birokrasi untuk menjadi anggota Partai politk, cap Ilegal bagi organ yang di angggap bertentangan dengan Lae And Order (Koninklijk Besluit, 1 September 1919). Situasi represif inipun banyaknya pergerakan pemuda Nasional yang di asingkan (Sokarno,Hatta Dan Syahrir) setiap organ dituntut memiliki daya tahan jaka ingin bertahan dan di paksa menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah (G. Moedjanto, 1992:57).
Banyak penyiasatan kemudian butuh di lakukan untuk merespon refresif ini. Banyak dari mereka kemudian bertransformasi menjadi Studie Club. Wilayah gerakan sangat Kultural, yakni berupa aksi-aksi penyadaran masyarakat akan arti penting pergerakan, persatuan, pendidikan dan lainnya yang secara Kultural bermanfaat bagi perjuangan merebut kemerdekaan. Menyebarkan wacana melalui surat kabar, atau majalah (seperti Soeleh Rakyat, Soeleh Indonesia) adalah tren baru pergerakan.
Di waktu kemudian Trend Study Club ini menjadi usang dalam konteks sosial politik yang berubah. Embrio revolusioner dalam pergerakan Kultural mulai membutuhkan ruang ruang sosial untuk “uji materielnya.” Banyak kemudian dari mereka menjadi Partai politik seperti Algemeene Studie Club-nya Sukarno berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada Tahun 1927. pergeseran ini kemudian diikuti oleh Partai-Partai baru seperti Partai Indonesia Raya (PARINDRA)-eks Budi Utomo, Gerakan Rakyat Indonesia (GARINDO), dan puncaknya adalah terbentuknya Gabungan politik Indonesia (GAPI) pada Tahun 1939.

Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa Jepang hampir semua gerakan pemuda dan mahasiswa di bubarkan. Mereka kemudian di mobilisasi dalam mewujudkan Program Asia Timur Raya Jepang. Situasi ketidakamanan akan bahaya perang, memaksa Jepang untuk tidak memberikan ruang politik yang luas, bagi kebutuhan pengorganisasian dukungan.
Konsekwensinya, para pemuda di masukkan kedalam barisan-barisan pelopor ketentaraan Jepang, seperti Seinendan, Keibodan, Heiho, dan lainnya. Sebagian lainnya di beri lebel “kebangsaan” seperti Pembela Tanah Air (PETA). Mereka ini, dalam propaganda Jepang, nantinya akan menjadi tulang punggung kemerdekaan. Walaupun sesungguhnya keberadaan mereka tidak lebih sebagai penyiapan bala bantuan Jepang untuk menunjang Meliter Jepang pada perang Pasifik.
Dimulailah era baru pergerakan, yakni era pergertakan bawah tanah. Era ini dikenal sebagai era kejayaan gerakan illegal seperti selebaran, kurpol-kurpol, dan propaganda. Hanya saja seperti nanti dicatat di bawah, gerakan bawah tanah ini di kombinasikan dengan cantik dengan gerakan illegal yang dipimpin Sukarno. Salah satu hasil kalaborasi ini adalah keberahasilan pengorganisasian massa pada demonstrai massa di lapangan Ikada.
Seperti di sebutkan di atas tidak semua gerakan kepemudaan dan mahasiswa tirap. Kekuatan politik yang di mainkan masih di pertahankan, hanya sajaj dicitrakan agak jauh dari oposisi. Cara yang kedua inilah yang di perankan antara lain oleh Sukarno, Hatta, dan lainya. Sementara di kubu yang pertama, nama Tan Malak barangkali yang paling tersohor.
Pergeseran yang cukup berarti, terlihat di masa-masa akhir pendudukan Jepang. Kekalahan tentara Jepang oleh sekutu di beberapa tampat, yang didengar oleh aktivis pergerakan Nasional, dapat menjadi bumeranga bagi cara politik refresif yan g digunakan. Putera yang tadinya hendak digunakan sebagai organ korporatis Jepang, mulai mampu menunjukkan karakter oposisinya. Ini memaksa Jepang untuk lebih akomodatif pada kepentingan politik pergerakan kemerdekaan Nasional. Pembentukan BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI adalah contoh terbaik politik akomodatif Jepang di saat-saat akhir pendudukan.

Pasca Kemerdekaan
Tahun 1955 merupakan Tahun ke-5 Indonesia menganut sistem demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer). Eksprimentasi yang kemudian di anggap gagal, karena tidak adanya pemerintah (Partai/koalisi Partai untuk meraih mayoritas dalam parlemen) yang mampu bertahan lama (rerata kurang dari 5 Tahun, terlamam tidak lebih dari 2 Tahun) . Enpat parai besar pemenag pemilu 1950, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI, tidak ada yanga meraih mayoritas.
Instabilitas politik ini di perparah oleh keterlibatan Meliter dalam panggung politik. Rasionalisasi di tubih Meliter yang tadinya dimaksudkan untuk memprofesionalkan keberadaannya tidak terkomonikasikan dengan baik.
Pasca agresi Meliter Belanda I dan II, rencana “pecah belah” dalam model RIS, yang menandai keinginan Belanda (dan sekutu) untuk berkuasa kembali di Indonesia, memunculakan persepsi di ubuh Meliter akan kewajiban menjaga kesatuan Nasional. Carut-marut tersebut di perparah keterlibatan elit sipil yan gmencampuri internal Meliter.
Singkatnya, dalam perspektif Meliter, Pertama, menolak intervensi sipil dalam urusan internal Meliter (seperti kasus pelantikan bambang otoyo sebagai KSAD), dan kedua, melihat instabiitas politik adalah karakter dasar dari kepemimpinan politik sipil. Walaupun, sesungguhnya yang lebih dominan adalah yang pertama, sedangkan yang kedua akan menjadi bahan yang makin akumolatif di kemudian waktu.
“pembangkangan” awal Meliter teahdap kepemimpinan sipil, didemonstrasikan dalam pagelaran pasukan di depan istana Negara di bawah komando A.H. Nasutin, di Tengah pidato presiden Sukarno pada Tanggal 17 Oktober 1952. inilah awal ketegangan yang akan terus berlanjut hingga di kemudian hari. Kesemuanya berimplikasi pada instabilitas politik yang dalam konteks Negara baru seringkali tidak menguntungkan.
Krisis politik ini di perparahatau di matangkan oleh kerisis ekonomi yang diawali sekitar 1954-1959 (yang akan semakin parah di Tahun-Tahun berikutnya). Tingkat insplasi tinggi-yang merupakan indicator makro stabilitas ekonomi-menurunkan tingkat daya beli yang menurunkan tingkat kesejahteraan. Namun tanpa harus memperdebatkan bagaimana tingkat kesejahtraan di ukur, senyatanya persoalan kemiskinan belum tertanggulangi.
Dalam disertasinya, Hermawan Sulistyo menunjukkan bahwa suplai uang, devisit anggaran, dan biaya hidup meningkat sekitar tiga kali lipat. Uang kartal yang beredar menunjukkan angka yang semakin meninggi (nilainya rendah). Pada saat yang sama lapisan elit tidak menunjukkan sens af cresis yang kuat dengan mempertontonkan kemewahan didepan rakyat melarat.
Ekonomi biaya tinggi (inefisiensi dan korupsi) banyak berperan dalam mundurnya perekonomian. Belumlagi kebijakan impor lebih banyak berorientasi pada barang konsumsi (meningkat tajam dari $ 499 juta pada tahun 1960). Kontradiksi social ini direspon melalui berbagai perlawanan sepeti pemogokan yang dilakukan Serikat Buruh Partai Sosialis Indonesia (PSI) sekitar Mei 1955.
Selain situasi nasional ini, ada konteks global yang memberi corak pada GM Indonesia. Pasca keruntuhan Fasisme, berujung pada pertentangan dua kutub idiologi yang tadinya melakukan “aliansi taktis” melawan fasisme dan kapitalisme-liberalisme. Di tingkat gerakan, masing-masing memiliki watak nasionalis. Pertemuan Internasional Union Student (IUS) yang kongres pertamanya terlaksanan di Praha, Cekoslowakia, Agustus 1946 dipertandingkan dengan International Student Conference (ISC,1950) telah mengakibatkan terpecahnya GM dalam dua kubu idiologi besar dunia. Politik di Indonesia sendiri pada awalnya lebih memilih di tengah. Kesadaran kolektivitasnya dibangun oleh semangat persaudaran atas segenap bentuk penjajahan yang mengenai wilayah Asia dan Afriika. Ini di manifestasikan dalam kongres asia afrika (KAA) di bandung pada April 1955.
Kesemua situasi diatas berpengaruh dalam GM, terutama tarikan masuk dalam politik. Tipologi pelembagaan partisipasi politik sat ini memang melalui saluran partai politik yang kental corak idioiloginya. Hampir kesemua saluran partai politik tersedot di sini. Masing-masing saluran partai politik kemudian hanya tampak sebagai instrumen perpanjangan (Underbouw) partai politik, dari mulai organisasi kemahasiswaan, organisasi petani, buruh, pers, dan sebagainya.
GM pun larut dalam tipologi ini. Aktivits yang sempat melemah (kasuskeluarnya persatuan perhimpunan-perhimpunan mahasiswa Indonesia/PPMI-dari Dri Front pemuda Indonesia/FPI-pada kongres pemuda Indonesia, 8 Juni 1950), kini meningkat derastis dalam frem baru ini.
Pergeseran ini sering kali menyulitkan kebersamaan. Afiliasi organ mahasiswa ke parpol berakibat pada metuncingnya hubungan antar organ. Belum lagi jika ketegangan itu diturunkan dari perbedaan idiologi. Front kiri dan kanan semakin jelas, yang direpresentasikan lewat perpecahan antara CGMI, GMNI, dan GMKI dengan HMI, PMKRI, dan Germasos, PMII sendiri di pimpin germasos.
Organ mahasiswa yang terlibat di PPMI, dan merasa terjebak dengan keanggotaannya di IUS, mencoba keluar dari dominasi ini. Pada tanggal 15 Mei 1956 konfrensi Mahasiswa Antara Indonesia (KMAI) dilangsungkan untuk membahas masalah ini di asrama Daksinapati, UI. Namun, yang terjadi justru forum menjadi arena persaingan memperebutkan legitimasi kepeminpinan politik mahasiswa yang selama ini di pegang PPMI.
KMAI kemudian ikut terlibat dalam gerakan mahasiswa internasional, termasuk mempersiaokan delegasi Indonesia untuk mengikuti Konfrnsi Mahasiswa Asia-Afrika (KMAA). Namun pertentangan idioloogis pulalah yang akhirnya menggagalkan bertemunya gerakan mahasiswa ini karena mereka menganggap KMAA adalah perpanjangan tangan IUS. Negara-negara yang menolak tersebut antara lain: Muangthai, India, dan Birma.
Sementara itu, di tahun 1957 kondisi nasional semakin memberuk. Sejak akhir 1956 aksi protes diberbagai wilayah di Indonesia mulai diwarnai kekerasan bersenjata. Keterlibatan meliter dalam aksi-aksi ini sangat kental.ketegangan dalam internal tubuh meliter, perpecahan karena gesekan idiologis, perlawanan terhadap dominasi pemerintah pusat, dan lainya menjadi pemicu bagi lahirnya perlawanan-perlawanan di daerah. Dewan banteng di Sumatra tengah, dewan gajah di Sumatra utara, dan permesta di sulawsi selatan, adalah buktinya.kekacauan semakin besar, dan kabinet Ali II pun jatuh pada Januari 1957.
Sukarno akhirnya mengambil langkah di berlakukannya darurat perangartinya menarik meliter untuk lebih dalam masuk politik.lebih lanjut sukarno melalui dekrit 5 Juli 1959 membubarkan dewan konstituante dan membentuk Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional.
Pilihan politik ini dalam banyak hal malah menambah ketegangan. Inilah awal dimulainya era Demokrasi terpmpin dimana kepentingan politik Sukarno tampil sentral dalam dalam pengelolaan konflik dalm tiga kekuatan besar yang menjadi kawan koalisinya-yang masing-masing sebenarnya saling berlawanan,-yakni PKI, NU, dan meliter.inilah formasi politik baru yang menyingkirkan faksi-faksi idiologis dalam percaturan politik Indonesia, sepeti kaum sosiali (PSI), Islam Modernis (masyumi), dan murbais (partai murba). Demokrasi terpimpin sesungguhnya secara substansif lebih cenderung otoriter, jika dibandingkan den gan otopiai demikrasi dsebagaiman diajarkan demokrasi liberal. Perlawanan dibernagai daerah adalah implikasi dari situasi ini, yang ditunjukkan oleh keterlibatan tokoh-tokoh di faksi tersingkir ini dalam gerakan “pemberontakan”.
GM pun terseret dalam konflik elit ini (walau juga ada nilai idiologinya). Aktivis mahasiswa yang berbadsis UI Jakarta menggalang senat dari berbagai universitas dan membentuk federasi Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Inilah organ nasional yang sebanding dengan PPMI. Namun karena lahir sebagai reaksi atas konflik elit, MMI gagal melibatkan dirnya dalam perjuangan yang lebih luas, yakni perlawanan terhadap-dalam bahasa demokrasi terpimpin-Neo kolonialisme-imperialisme (neokolim).
Ini dapat terlihat dari ketidak terlibatan mereka dalam kasus pembenasan Irian Barat, sebagai mana yagn dilakukan PPMI, FPI, dan perserikatan pemuda islam seluruh Indonesia (porpisi) pada 24 april tepat pada deklarasi hari Solidaritas Internasional menetang kolonialisme dan imperialisme (kasus irian barat menunjukkan pertarungan Indonesia, belanda, dan amerika untuk memperebutkan minyak dan tambang lain, dismpin kedaulatan politk bagi pemerintahan Indoneasia).
Tahun1957 dan seterusnya hingga masa demokrasi terpimpin adalah tahun suram bagi organisasi mahasiswa maupun masyarakat. Peran politik gagal menyentuh realitas ketidak adilan obyektif dalam masyarakat, seperti persoalan kemiskinan maisalnya. Banyak diantara mereka seperti di samping terjebak pada konflik elit. Juga tebelah dalam fragmentasi idiologos yang berlart-larut tanpa pemenang. Belum lagi munculnya politik baru yang di mainkan tentara (AD).
Keterlibatan tentera dalam mempengaruhi pergerakan mahasiswa secara langsung di andai dengan pembentukan BKS-PM (badan kerjasamam pemuda-meliter) tanggal 17tanggal 17 Jini 1957. Bagi meliter, ini ditunjukkan untuk mengimbangi politik pengorganisasian masa oleh PKI, sekaligus kontrol politik atas kekuatan mahasiswa. Mereka yang mengikuti kesepakatan seperti Suktno (Pemuda Rakyat), S.M. Thaher (Pemuda Demokrat), A. Bochori (GPII), Wajhib Wahab (ansor) dari pihak pemuda, dan letkol Pamuraharjo dari pihak meliter. BKS-PM diresmikan 26 Jili 1957 terdiri dar 125 organisasi pemuda dari 6 federasi yang memiliki perwakilan di dewan penasehat BKS-PM.
Upaya mengahiri kerisis politik melalui demokrasi terpimpin ditenggarai “kerinduan” akan cita bersama yang terkandung dalam UUD 1945. dekrit Sukarno 5 Juli 1959, di dukung juga oleh banyak kalangan, dari mulai partai politik yang kemudian berkawan dwngannya, Meliter dan juga GM (melalui PPMI, yang menekan sidang konstituamte pada tanggal 11 Juli 1959 di Bandung). Jika persoalan di masa mendatang justru lahir dari kegagalan UUD 1945 merespon perubahan situasi, maka kiranya lebih tepat niatan kembali ini semata sebagagi semangat kembali pada cita persatuan.
Namun, dengan kembali pada UUD ’45, masih memerlukan tafsir baru yang pas dengan kebutuhan situasi yang terpimpin. Inilah yan gmelahirkan manifesto politik USDEK (UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokratis terpimpin, ekonomi terpimpin dan keoribadian Indonesia). Singkatnya, persialan tafsir ini juga akan kembali mengemuka pada masa kedepan terutama pada saat konsolidasi rezim Orba yang memonnnopoli penafsiran UUD 1945.
Parpol/Ormas dipaksa ntuk menyesuaikan diri cengan situasi. Anggaran dasar setiap organisasi harus mencantumkan Manipol USDEK, dan yang tidak dianggap kontra revolusioner (kontrev) dan di bubarkan. Masyunmi, PSI, Murba, menjadi korban eksklusi politik ini, anak kandung organisasinya Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Gerakan Pemuda sosialis (GSP) dan GM sosialis di isolasikan.
Semrntara itu, perekonomian semakin memburuk. Sanering terhadap rupiah, diumumkan oleh pemerintah pada tanggal 25 Agustus 1959, menjadikan nilainya tinggi 10 % saja dari nilai nominal. Perkiraan bahwa nilai uang akan kembali normal ternyata meleset. Jumlah uang yang beredar semakin banyak sehingga harga barang makin membumbung.
Ada beberapa hal menurut Modjianto yang menyebabkan terjadinya situasi ini, yakni Pertama, penghasilan negara berkurang akibat turunnya ekspor karena pergolakan di berbagai daerah tidak kunjung reda. Kedua, nasionalisasi perusahaan belanda tidak membantu, karena tiadanya menejemen-menejemen yang cakap. PN, PDN, PPN yang yang didirikan dengan maksud dijadikan salah satu jalan untuk mempercepat tercapainya sosialisme di ndonesia, hanya menguntungkan segelintir elit. Keempat, biaya persiapan asian gemes IV, Kelima, perjalanan dinas sukarno keluarnegeri (dengan biaya negara), Keenam, tidak kundusifnya iklim politik bagi investasi modal asing, dan Ketujuh, ndonesia tengah focus terhadap kasus irian barat.
Kekacauan ini menempatkan tntara (Nasution) dalam posisi signifikan-kadang malah menjadi penyebab kekacauan-karena kebaranianya melakukan intervensi. Tentara denan jelas banyak campurtangan dalam hal perekonomian. Perlakuan keras dan diskriminatifnya atas pedagang Arab, India, dan terutama Cina menambah kekacauan situasi ekonomi dan politik: merenggangnya hubungan diplomatic Jakarta-Peking dan instanilitas ekonomi karena dislokasi, penimbunan barang dan implikasinya, tingkat inflasi semakin serius.
Untuk bersaing dengan kekuasaan Nasution Sukarno menempuh dua pokok: mendapatkan dukungan dari parpol yang berpusat dijawa dan merangkul AU berhubung AD sudah oleh nasution (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia modernt,1991). PKI menapat ruang setrategis nya di sini. Antara 17 %-25 % DPRGR di isi oleh PKI, termasuk ketika sukarno membentuk MPRS. PKI hanya tidak terwakili dalam kabinet.
Komposisi ini berpengaruh terhadap hubungan diplomatic Indonesia dengan dunia internasional. Kedekatan dengan Soviet, Cina, adalah konsekwensi dari konfigurasi kekuatan politik internalnya, lewat PKI maisaknya, namun semuanya di untungkan dari situasi ini. Kepentingan merebut iran barat pun digunakan tentera untuk menambah kedekatan dengan Uni Soviet. 1960 Camerad Khrushchev berkunjung keindonesia dan memberikan kredit sebesar $ 250 juta, juga pinjaman $ 450 juta, dalam bentuk persenjataan pada Januari 1961.
Angkatan bersenjata bertambah kuat. Personelnya mencapai sekitar 300.000 prajurut pada akhir 1962. bantuan persenjataan tersebut sering juga di bagi berdasarkan preferensi politik Sukarno. AU dan AL banyak menerima bantuan karena dipandang sukarno lebih kooperatif.
Di garis massa, PKI juga semakin berkibar. Keanggotaan BTI mencapai 5,7 juta, konon ¼-nya adalah petani dewasa, SOBSI hampir 3,3 juta. Awal 1963 anggota Pemuda rrakyat dan Gernawi mencapai 1,5 juta orang. Jumlah anggota PKI sendiri pada akhir 1962 lebih dari 20 juta yang yang menempatkannya sebagai partai komonis terbesa di negara non komonis mana pun (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia modernt,1991).
Pada kasus terselesainya sengketa Irian Barat, dalam beberapa hal justru di anggap merugikan pada format politik demokrasi terpimpin. Meliter ketakutan bila UU darurat perang akan di cabut dan akibatnya belanja meliter di kurangi, PKI juga takut terhadap politik yang kurang rasdikal akan menghalangi pertunbuhannya, begitu pula Sukarno merasa takut jika semangat rakyat yang berkobar pada masa rawan irian barat akan surut. Ketakutan yangsama juga dihadapi dalam konteks kasus luar negeri, yakni rencana pembentukan negara Malaysia yang di rencanakan sebagai persekutuan tanah melayu. Penolakan yang kemudian menjadi komoditas politik luar, dalam kepemimpinan propagandis demokrasi terpimpin: “Gayang Nekolim,” “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis”.
Kedekatan mahasiswa dengan meliter semakin jelas, yang ditunjukkannya dalam keikut sertaannya dalam pertahanan sipil melalui pembentukan resimen mahasiswa (Menwa). Pertama kali ini di bentuk pada tanggal 13 Juni 1956 di mana marwan bandung yang kemudian diikuti di universitas-universitas lainnya.
Masa ini memang lebih banyak menjelaskan bagaimanan kedekatan GM dengan elit lebih menjadi kunsi bagi isu-isu pergerakan. Dalam situasi yang masih harmonis antara meliter dan PKI (seperti kasus irian barat), banyak kelomppok GM yang bias bertemu, terkecuali bagi mereka yang telah dieksklusi garis idiologinya dalam format politik demokrasi terpimpin. Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 mendapat dukungan sepenuhnya dari mahasiswa. MMI dan PPMI membawa persoalan irian barat pada level nasional dan internasional melaui (IUS & ISC).
Pada juli 1961 PPMI sempat melaksanakan kongres ke IV yang memutuskan pembentukan presedium yang terdiri dari GMNI, PMKRI, GMD, CGMI, PMB,-ekslutif yang dianggap berorientasi kiri. Pada saat yang sama, Germasos dan HMI berhasil masuk keorgan-organ local di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya yang kemudian membentuk SOMAL. Persaingan keduanya di tandai pada keterlibatannya pada isu-isu politik ataukah tidak sebagai propaganda pergerakan. Bagi SOMAL, PPMI seringkali di anggap terlalu terlibat dalam isu/ perisyiwa politis. Jika diruntut maka apa yang disuarakan somal dapat dicari benag merahnya dengan aspirasi MMI. Dan ini bekan yang aneh, jika dalam komposisi ekskutif MMI terdapat perwakilan dari akademi hukum meliter, dan PTIK yang sangat dekat dengan kepentingan meliter.
Gerakan antar kedunya misalnya terungkap dalam penyikapan insiden di bandung rasial di bandung, Mei 1963. pernyataan konsulat PPMI di bandung menegaskan bahwa peristiwa ini tidak bermotif rasial, namun isu social yang diakibatkan oleh gap antara sikaya dan simiskin yang kian tajam.dalam kasus tersebut, konsulat PPMI di bandung pecah yang di ikuti 4 anggota PPMI bandung membentuk organ serupa dengan nama biro aksi mahasiswa. Keadaan ini di manfaatkan oleh MMI, yang mengiris organ pecahan PPMI di bandung tersebut dan membentuk majlis permusyawarata Indonesia (MAPEMI) agustus 1965.
Titik kulminasi dari kekacauan semenjak 1963 menemukan klimaksnya pada tahun 1965. kenaikan harga jauh tidak berimbang dengan penghasilan. Sejak 1963, tariff kereta api naik 500%. Tariff jasa umum seperti listrik dan air minum naik 400%. Dampak terhadap kenaikan ini terasa pada harga-harga di pasar. Dalam kuartal 1963 harga rata-rata kebutuhan dasar di pasar di Jakarta naik dua kali lipat dari tahun 1962 (indeks 1953: 100, 1958:203, 1962:1006, dan kuartal ke dua 1963:2302).
Ankatan bersenjatapun tidak luput dari problem finansial. Dalam catatan hermawan sulistyo, sejak 1963 angkatan bersenjata tidak mampu kembali membayar hutangnya. Akibatnya, sulit memperoleh dan merawat alat-alat perang. Suku cadang untuk pesawat tempur, radar, kapal dan system persenjataan lain tidak tersedia, sehingga banyak persenjataan moderent kalaitu tidak dapat di oprasikan.
Kondisi keuangan riil meliter lebih rinci yakni pada 1959, (anggaran meliter termasuk oprasi-oprasi meliter) di alokasikan 32, 26% dari anggaran pemerintah. Untuk tahun-tahun berikutnya sebesar 34,99% (1960), 29,28 (1961), 34, 72% (1962), 22, 10% (1963), 26,71% (1964), dan 41,54% (1965)
Kesukaran hidup rakyat ditepiskan lewat semboyan “AMPERA, berdiri di atas kaki sendiri” . deklarasi ekonomi (Dekon) 23 Maret 1963 justru memperioritaskan pembangunan ekonomi yang tidak produktif-populis (sarinah Depertemen store, tugu monas, gedung DPR/MPR, penyelenggaraan ganifo, dll). Hampir tiada pemikiran serius terhadap upaya recovery ekonomi.
Di mana ada ujung lebar kesenjangan/kemiskinan, disanalah lading subur komonisme. Postulat ini agaknya tepat untuk mengilustrsikan prilaku PKI di saat krisis. Di puncak kerisis, PKI masih tetap bertahan dengan jargon-jargon anti klonialisme-imperialisme. Paling menonjol adalah aksi-aksi yang dilancarkan untuk menggayang film-film AS dengan tuduhan menjadi sarang CIA, yang mengenai kelompok-kelompok professional fungsional (muncul sejak1953) seperti seniman, pengarang, wartawan, orang perfilman, organisasi wartawan, organisasi mahasiswa (trend berdansa di diskotik).
Pertentangan antara kelompok mahasiswa akhirnya tidak bias di hindari, yang terbialah antara yang pro atau kontra Manipol USDEK. Bahkan di ITB konflik ini meluas hingga isu rasial. PPMI bandung di bubarkan. Sementara itu, kongres IV MMI pada awal april 1964 di malino tak luput dari area perebutan pengaruh kekuatan politik di linkar utama kekuasaan.

0 komentar: